Heboh Predator Anak Sesama Jenis di Tulungagung, KPAI Tegaskan Fokus Korban: Berkaca Kasus Reynhard

M Hasan (41) alias Mami Hasan pelaku kekerasan seksual pedofil di Tulungagung di Polda Jatim, Senin (20/1/2020)
M Hasan (41) alias Mami Hasan pelaku kekerasan seksual pedofil di Tulungagung di Polda Jatim, Senin (20/1/2020)

Polda Jatim membekuk pelaku kekerasan seksual sesama jenis terhadap 11 pelajar, KPAI ungkapkan hal itu untuk menindak tegas kasus tersebut. Baru-baru ini, kasus predator anak kekerasan seksual kembali terjadi di Tulungagung, Jawa Timur. Kali ini predator anak kekerasan seksual itu menargetkan terhadap sesama jenis yang melibatkan 11 anak atau pelajar.

Pelaku kekerasan seksual itu adalah H (41). Dikutip dari Surya.co.id, H mengiming-imingi uang menggaet 11 pelajar tersebut. Nahas, 11 orang pelajar itu masih berstatus pelajar, kisaran usia 17- 18 tahun.

Menurut Direktur Ditreskrimum Polda Jatim, Kombes Pol R Pitra Andrias Ratulangie, pelaku H membujuk dengan memberikan uang Rp 150 Ribu sampai dengan Rp 250 Ribu. Menanggapi peristiwa itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) prihatin. KPAI menyatakan peristiwa yang dialami 11 anak di Tulungagung sangat mengenaskan.
Hal itu disampaikan Komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra dari rilis yang diterima tribunjabar.id, Selasa (21/1/2020).

Komisioner KPAI Jasra Putra, menegaskan dalam hal kasus tersebut, sikap permisif dan relasi kuasa harus dihilangkan di masyarakat. Dari kasus tersebut pihaknya melihat kebutuhan anak yang harusnya dapat dipenuhi para pelindungnya, jatuh kepada pedagang kopi yang tidak bertanggung jawab. Pelaku menghilang, polisi melaksanakan pencarian besar besaran.

Sayangnya 2 Minggu dicari Polisi, pelaku H bisa tinggal berpindah pindah. Salah satunya H diketahui pernah tinggal di MI juragan toko kopi. Di sana lah H akhirnya tertangkap. Menurut Jasa Putra, sikap permisif dalam melihat kasus kekerasan seksual dan kejahatan seksual masih menjadi momok yang berat di masyarakat. Untuk itu deteksi dini RT, RW sangat penting secara administratif memahami warga yang tinggal di sekitarnya. “Tentu dengan tanpa menstigma, tetapi menjalankan mekanisme pencegahan dan pengawasan secara administratif,” ujar Jasra Putra. Tentunya hukuman yang berat menanti pelaku.

Belajar dari kasus Reynhard bagaimana para predator melakukan kejahatannya. Menurutnya karena bila tidak ditangani dengan baik, secara holistik dan integratif. Dampaknya akan menghantui sepanjang hidup para korban, bahkan korban bisa terjebak menjadi pelaku bila tidak tertangani dengan baik. “Artinya penting bagi APH memastikan rehabilitasi bagi para korban.” “Kalau tidak maka pelaksanaan UU SPPA bisa gagal menangkap sebabnya secara holistik,” ujarnya. Terlebih, penanganan tepat itu pun agar keluarga korban tidka khawatir. Semakin cepat mengatasinya, maka semakin baik untuk perkembangan psikologis anak anak korban. Pendampingan berkelanjutan penting diberikan ke keluarga. KPAI menyarankan semua yang terdeteksi sebagai pelaku kekerasan atau kejahatan seksual yang sudah masuk kepolisian sudah seharusnya wajib lapor. Lembaga lembaga terkait bisa diajak kerjasama kepolisian untuk wajib lapor, pengawasan dan pencegahan. Menurutnya kasus ini tidak bisa dihindari ada tuntutan restitusi dalam mekanisme hukum, yaitu pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan, baik kerugian materil dan atau imateriil. Catatan pentingnya dalam mekanisme wajib lapor ini, harus disertai penanganan petugas yang punya kapasitas dan profesionalitas yang baik dan khusus. Agar ada mekanisme pengawasan dan pencegahan. Mekanisme penanaman chip bisa diberikan, apalagi aturannya sudah ada. Karena bisa jadi di penjara perbuatan itu terulang atau di tempat lain. Dari pelaku H kepolisian bisa mengembangkan kasusnya, seperti dimana saja pelaku pernah tinggal, tinggal dimana saja selama pelarian, artinya bisa jadi korbannya lebih banyak. Pihaknya menegaskan bahwa dalam setiap kasus termasuk kekerasan seksual sesama tersebut, korban pun menjadi penting untuk dideteksi dan ditangani segera. Menurut Jasra Putra dari kasus ini pemerintah bisa belajar dari kasus Reynhard. Selanjutnya Jasra Putra memaparkan kondisi anak yang terpapar LBGT baik sebagai korban maupun pelaku dalam data aduan KPAI dari tahun 2016-2019 sebanyak 126 kasus. Namun, pihaknya juga sering dapat laporan, keluarga keluarga yang berkonsultasi melalui hotline telepon pengaduan anak tentang anak anak yang dikhawatirkan tumbuh kembangnya karena kondisi tersebut. Terutama meningkatnya ragam, motif, model kejahatan, kekerasan yang melibatkan anak dan perlakuan salah anak. Termasuk di jejaring medsos. Begitu juga dialami di layanan kesehatan, pendidikan dan para praktisi psikolog. Demikian pihaknya menyarankan Negara memberikan kapasitas para petugasnya dalam penanganan. Begitupun saran saran Presiden untuk penanganan kekerasan melalui data SIMFONI PPA saat Ratas kemarin bersama para Menteri. Soal ini dilanjutkan KPAI dengan memohon JR ke MK, yang akan disidangkan perdana Rabu nanti di MK. “Karena ini mandat Presiden yang meyakini snowball effect, kasus kasus seperti ini hanya dipermukaan yang muncul, yang sebenarnya dibawah sangat banyak,” papar Komisioner KPAI, Jasra Putra. Untuk itu KPAI sedang berupaya melakukan JR Undang Undang nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan JR ini KPAI memastikan mekanisme pengawasan dan pencegahan kasus kasus seperti ini referralnya berjalan sampai tuntas di tingkat bawah.
Dengan kewajiban membentuk Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD). Oleh karena itu diharapkan peran serta masyarakat dan lembaga cukup besar selama ini, hanya Negara perlu meningkatkan kewenangan dalam melindungi kerja tersebut. Untuk itu fungsi KPAI bisa diperluas sampai tingkat bawah, dengan membentuk KPAD, agar ada yang berwenang melakukan pengawasan di daerah dalam memastikan penyelenggaraan perlindungan anak berjalan secara efektif. “Kemudian hal itu pun memastikan agar jangan sampai sejengkal tanah pun di NKRI ini, luput dari pengawasan perlindungan anak,” tutupnya.

sumber : https://jabar.tribunnews.com/

Exit mobile version