Inilah 17 Indikator Larangan Penyalahgunaan Anak Dalam Politik

Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) tahun 2020 ini mencapai 456.256 anak yang masuk kategori pemilih adalah usia 17 tahun atau pernah sudah menikah.
Data itu diperoleh dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang di serahkan validasinya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Untuk itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
bersepakat membuat surat edaran bersama tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang ramah anak 2020 pada Rabu (9/10) kemarin.

Dalam pembuka acara tersebut Susanto Ketua KPAI menghimbau calon kepala daerah agar dapat melaksanakan 17 indikator yang dirumuskan dalam surat edaran bersama dalam rangka Pilkada Ramah Anak.

“Dengan kesepakatan bersama ini, Calon Kepala Daerah dituntut memiliki visi dan misi perlindungan anak di 270 daerah yang menyelenggarakan Pilkada,” ujar Susanto.

Sementara itu, Kepala Divisi Pengawasan Monitoring dan Evaluasi (Kadivwasmonev) KPAI, Jasra Putra mengatakan surat edaran bersama ini menekankan 17 indikator bentuk bentuk penyalahgunaan anak dalam politik.

“Sepanjang 2019, KPAI melakukan pengawasan terkait temuan pelibatan anak dalam kampanye. Yang menjadi catatan kelam kita semua, seperti pasca penetapan pemilu kita menjadi saksi 4 anak ditembak dan meninggal, yang sampai sekarang kita tidak bisa menemukan pelakunya. Belum lagi barisan 55 kasus yang masih menjadi catatan KPAI,” ungkap Jasra dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (11/10/2020).

Berdasarkan temuan KPAI dalam penyalahgunaan anak dalam kegiatan politik di 2014 ada 248 kasus sedangkan 2019 ada 55 kasus. Meski turun, namun fakta lapangan 2019 jumlah kehadiran anak lebih massif karena kampanye terbuka dan panjang berbulan bulan pada 2019..

“Untuk itu hasil pengawasan ini, di 2020 kami memasukkan point tambahan selain pengawasan yaitu upaya pencegahan pelibatan anak, penyalahgunaan anak dalam kegiatan politik. Bahkan dimasukkan penyelesaian kasus jika terjadi pelanggaran. Dengan 17 indikator tersebut,” kata dia.

Semua ini dilaksanakan dalam tegak lurus melaksanakan implementasi Undang Undang Perlindungan Anak Pasal 15 a yang menyatakan setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan kegiatan politik.

Jasra juga menyoroti tentang potensi besar kampanye yang akan lebih banyak melalui daring. Karena seperti diketahui dari survey KPAI 2019 tentang pengawasan penyelenggaraan pemilu yang melibatkan anak, berbagai kasus sangat memprihatinkan di 2019 tentang pelibatan anak seperti terpapar konten negatif.

Kemudian paparan ujaran kebencian antar kandidat antar calon serta pasca Pemilu.

“Ujaran kebencian itu menjadi kekerasan fisik yang marak terjadi, yang meninggalkan korban anak-anak sampai sekarang, yang memerlukan rehabilitasi panjang,” jelas Jasra.

Seperti diketahui data anak terpapar Covid marak dari kulster keluarga saat ini. Begitupun anak yang masih melakukan isolasi bersama keluarganya, anak korban meninggal dan anak terpapar masih menjadi anak-anak yang membutuhkan perhatian khusus.

“Ini semua menjadi alert warning system kita. Bahwa kampanye akan berlangsung di zona bahaya penularan. Maka tim kampanye calon kepala daerah dan calon kepala daerah pilkada 2020 harus tidak ada tolerir tentang hal tersebut. Agar selama kampanye penyelenggara memastikan keluarga tetap utuh, jangan menjadi ajang setor nyawa,” sambungnya.

Disamping itu menurut Jasra, negara terus menyelenggarakan pendidikan politik untuk anak-anak yang belum masuk umur 17 tahun.

“Berbagai lembaga, forum anak, kementerian, KPU diajak melatih, mendidik dan pengetahuan Pemilu,” imbuhnya.

Berikut 17 indikator penyalahgunaan anak dalam politik yang harus diketahui partai dan calon peserta pemilu:

1. Melibatkan anak untuk ikut menerima uang saat menghadiri kampanye, menerima pembagian sembako maupun sedekah, dan sejumlah indikasi money politic lainnya.

2. Menyalahgunakan identitas anak yang sebenarnya belum berusia 17 tahun, namun diindentifikasi telah berusia 17 tahun, termasuk memalsukan status anak sebagai sudah menikah dalam daftar pemilih tetap (dpt).

3. Memanfaatkan fasilitas anak untuk kepentingan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota, seperti tempat bermain, sekolah, madrasah, pesantren, dan lain-lain.

4. Memasang foto, video anak, atau alat peraga kampanye lainnya.

5. Menggunakan anak sebagai penganjur atau juru kampanye untuk memilih calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota.
6. Menampilkan anak sebagai bintang utama dari iklan politik dalam media apapun.

7. Menampilkan anak di atas panggung kampanye calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota dalam bentuk hiburan.

8. Menggunakan anak untuk memasang atribut-atribut calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota.

9. Menggunakan anak untuk melakukan pembayaran kepada pemilih dewasa dalam praktik politik uang oleh tim kampanye calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota;
10. Mempersenjatai anak atau memberikan benda tertentu yang membahayakan dirinya atau orang lain.

11. Memaksa, membujuk, atau merayu anak untuk melakukan hal-hal yang dilarang selama kampanye, pemungutan suara, atau penghitungan suara.

12. Membawa bayi atau anak yang belum memiliki hak pilih ke arena kampanye terbuka yang membahayakan anak.

13. Melakukan tindakan kekerasan/eksploitasi atau yang dapat ditafsirkan sebagai tindak kekerasan dalam kampanye, pemungutan suara, atau penghitungan suara, seperti kepala anak digunduli, tubuh disemprot air atau cat, dan/atau bentuk kekerasan/eksploitasi anak lainnya.

14. Melakukan pengucilan, penghinaan, intimidasi, dan/atau tindakan-tindakan diskriminatif kepada anak yang orang tua atau keluarganya berbeda atau diduga berbeda pilihan politiknya.

15. Memprovokasi anak untuk memusuhi atau membenci calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota.

16. Menggunakan anak menjadi pemilih pengganti bagi orang dewasa yang tidak menggunakan hak pilihnya.

17. Melibatkan anak dalam sengketa hasil penghitungan suara.

 

Sumber : https://wartalika.id/

Exit mobile version