Jaga Anak-anak Kita, Lelaki atau Perempuan Sama-Sama Rawan

JAKARTA – Fenomena kejahatan seksual yang menimpa kelompok anak belakangan ini membuat orang tua harus lebih waspada kepada buah hati masing-masing. Sebab ancaman predator anak tidak pernah memilih korban. Anak laki-laki atau perempuan sama-sama rawan menjadi korban kejahatan sang predator.

Berdasar catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 28 persen korban adalah anak laki-laki. Anggota KPAI Susianah Affandy menjelaskan, dalam beberapa kasus, pelaku kejahatan seksual memandang lebih aman menjadikan anak laki-laki sebagai korban.

“Karena orang tidak akan curiga laki-laki sama laki-laki. Apalagi bila ada faktor kedekatan dengan pelaku. Selain itu, tidak ada risiko hamil,” jelasnya kemarin (21/1).

 

Berdasar data pengaduan di KPAI, tahun lalu tercatat 168 kasus kekerasan seksual pada anak. Ada 48 anak yang menjadi korban kasus tersebut.

Kedekatan pelaku dengan korban menjadi hal yang harus diwaspadai anak dan orang tua. Susianah menuturkan, banyak contoh kasus yang menunjukkan bahwa pelaku adalah orang yang sehari-hari dekat dengan si anak. Bukan hanya orang yang punya hubungan keluarga, tapi bisa juga guru. Misalnya kasus pencabulan di Tangerang yang menimpa 41 anak. Pencabulan itu dilakukan oleh seorang guru SD.

“Biasanya karena anak menggantungkan hidupnya kepada pelaku,” imbuh perempuan yang juga ketua Bidang Sosial, Kesehatan, dan Kesejahteraan Keluarga (Soskeskel) Kowani itu.

Susianah mengungkapkan, salah satu cara terbaik untuk melindungi anak dari kekerasan seksual adalah memberikan pengertian yang jelas kepada anak bahwa alat kelamin sangat privat. Tidak boleh sembarangan disentuh orang lain. “Yang boleh menyentuh adalah dia dan ibunya sendiri. Kalau ada orang lain yang menyentuh, harus lapor segera,” ujar dia.

Namun, tidak cukup mudah mengungkap kasus tersebut. Sebab, kendalanya bukan sekadar ancaman dari pelaku. Mereka juga menggunakan bahasa-bahasa simbol atau kiasan yang tidak mudah dimengerti orang pada umumnya. “Anak tak memahami bahasa verbal. Misalnya, (pelaku menyuruh, Red) kalau ditanya orang tua bilang aja main kuda-kudaan,” tambah dia.

Psikolog Adityana Kasandra Putranto menuturkan, kasus kekerasan seksual terhadap anak sebenarnya sudah lama terjadi. Dia mencatat, sejak kasus Babe pada 1992 sampai Emon di Sukabumi, hingga sekarang belum ada tindakan nyata yang solutif untuk menyelesaikan masalah tersebut.

“Semakin ke sini, angka kekerasan justru meningkat, tidak hanya karena fenomena gunung es, tetapi juga karena akses pelaporan yang semakin baik,” ujar dia. Walaupun dari sisi hukum sudah ada perbaikan, dari sisi faktor penyebab dan pemicu tidak cukup dilakukan intervensi.

Dia mengungkapkan, perilaku menyimpang yang berupa kekerasan seksual terhadap anak terbentuk karena beberapa faktor. Terutama terkait dengan fungsi neuropsikologi. Umumnya terkait dengan trauma masa kecil, yakni pernah mengalami hal yang sama. 

Exit mobile version