Jumlah aduan ke KPAI menurun, tapi kasus kian kompleks

Makna menurun seharusnya menggembirakan. Namun dalam konteks Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tidak serta merta begitu.

Dalam keterangan tertulis pada Senin (18/12/2017), KPAI menerima pengaduan 3.849 kasus selama 2017 atau menurun dari 4.620 kasus pada 2016.

KPAI menyebut ada tiga sebab penurunan jumlah pengaduan dari masyarakat. Pertama, menurut Ketua KPAI Susanto, jumlah lembaga perlindungan anak bermunculan di berbagai wilayah se-Indonesia.

Alhasil lembaga-lembaga ini yang kini menampung aduan dari masyarakat ketimbang ke KPAI. Lantas penyebab kedua adalah advokasi perlindungan anak kian marak.

Advokasi mengubah perilaku orang tua atau orang dewasa pada anak. Ketiga, program ramah anak mulai menjamur. Misalnya di puskesmas atau sekolah ramah anak.

Jumlah pengaduan ke KPAI menurun, tapi bukan berarti jumlah kasusnya juga menurun. Bahkan kasus kekerasan pada anak kian kompleks, terutama pada kasus pornografi.

“…kasus pornografi rentetannya begitu panjang, tujuh tahun terakhir korban dan pelaku mencapai jumlah 28 ribu anak,” ujar Susanto. Dan mayoritas pelaku dan korban kekerasan pada anak dalam kasus pornografi adalah laki-laki.

Sepanjang 2017, menurut data KPAI, ada 1.234 anak laki-laki menjadi pelaku dan korban kekerasan pornografi. Adapun pada kelompok perempuan (pelaku dan korban) adalah berjumlah 1.064 orang.

Dua kasus ini mencapai 54 persen (laki-laki) dan 46 persen (perempuan) pada kekerasan anak. Ini menggambarkan perubahan modus yang signifikan.

“Dulu kita pandang perempuan rentan sebagai korban, data ini menunjukkan ada pergeseran yang berbeda. Saat ini dibutuhkan model yang masif, ruang publik ramah anak penting ditingkatkan agar akses anak mendapatkan informasi, area yang aman, penting dipastikan,” imbuh Susanto.

Korban pedofil dan menjadi radikal

Komisioner KPAI Margaret Aliyatul Maimunah pun meminta masyarakat mengubah cara pandang bahwa “anak laki-laki lebih andal menjaga diri dibanding anak perempuan”. Faktanya ya itu tadi, anak laki-laki lebih banyak menjadi korban dibanding perempuan.

“Jadi sekarang tidak ada istilah perempuan lebih rentan, semua sama-sama rentan terhadap kejahatan seksual. Pelaku pedofil sekarang banyak bersebaran dan anak laki-laki juga menjadi intaian mereka,” katanya.

Ironisnya, berdasarkan sejumlah kasus, pelaku pedofilia justru kalangan dekat seperti paman, tetangga, atau orang yang terlhat cinta anak-anak. Dan bukti betapa anak laki-laki kini cukup rentan pada kekerasan seksual adalah pengungkapan kasus jual beli video anak berhubungan seks pada September 2017.

Margaret menceritakan polisi menemukan indikasi jual-beli video hubungan intim sesama jenis yang dilakukan anak-anak di pesan layanan singkat dan media sosial. Video itu diunggah dan dijual lewat akun Video Gay Kids (VGK) di Telegram dan Twitter.

Kasus ini diungkap Polda Metro Jaya dan tiga pelaku berinisial Y (19), H (30), dan I (30) berhasil ditangkap. (h/t Kompas.com). “Dari sini ketahuan anak laki-laki juga rentan.

“Kalau ada anak mengalami kekerasan seksual pada masa kecil dan tak dilakukan rehabilitasi maka ia berpotensi jadi pelaku. Anak yang mengalami kekerasan seksual kan belum tentu mengaku, rata-rata mereka baru ketahuan setelah misalnya saat pipis sakit, jalan pincang, dan butuh waktu mengorek itu,” tutur Margaret.

Persoalannya, anak-anak belum fasih menjaga dirinya dari tindak kejahatan yang pelakunya orang dewasa. Itu sebabnya masyarakat dan orang tua diminta tidak abai pada ancaman terhadap anak-anak laki.

KPAI juga melihat tren anak menjadi radikal karena pola asuh yang keliru, lingkungan, dan munculnya gerakan radikal. Anak pun bisa berubah radikal hanya berdasarkan informasi dari internet, materi bacaan, keluarga, dan bahkan sekolah.

Itu sebabnya Susanto berharap pemerintah bisa memastikan tak ada guru atau sekolah berpandangan radikal. Orang tua pun harus menjamin pola pengasuhan untuk anaknya cukup ramah. “Dalam sejumlah kasus, guru radikal rentan diimitasi anak,” katanya.

Exit mobile version