Jutaan Anak Dibayangi Polio dan Meningitis

JAKARTA – Sebanyak 8,7 persen anak usia 12–24 bulan yang belum mendapat imunisasi dasar berpotensi terkena sejumlah penyakit, mulai dari polio hingga meningitis. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan, Mohammad Subuh, mengatakan angka 8,7 persen tersebut tidak dapat dianggap remeh. “Kondisi seperti ini sangat riskan, anak dapat terancam tidak terlindungi dari PD3I (penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi),” kata dia, di Jakarta, Selasa (25/4). Seperti diketahui, penyakit yang masuk dalam PD3I, yaitu polio, campak, hepatitis B, tetanus, pertusis (batuk rejan), difteri, rubella, pneumonia, dan meningitis.

PD3I itu sendiri dapat memengaruhi proses tumbuh kembang anak, dan dapat berdampak pada kualitas kesehatan di hari tua. “Karena itu, pentingnya orang tua untuk memberi imunisasi dasar kepada anak sejak dilahirkan hingga usia 2 tahun,” tegasnya. Ia menjelaskan, masih adanya anak yang tidak terimunisasi karena belum tuntasnya perdebatan haram dan halal atas penggunaan vaksin di tengah masyarakat. Kondisi itu yang membuat sebagian orang tua memilih tidak memberi vaksinasi pada anaknya.

Kepala Sub-Direktorat Imunisasi Direktorat Surveilans, Imunisasi dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan, Prima Yosephine, menambahkan selain masalah perdebatan haram dan halal, alasan lain yang menyebabkan orang tua tidak melakukan imunisasi pada anaknya adalah tidak menginginkan efek demam atau sakit pascaimunisasi, faktor budaya dan agama, serta ketidaktahuan terhadap kewajiban vaksin. Kementerian Kesehatan sendiri menargetkan pada 2017 ini ada kenaikan 5 persen pada kabupaten/kota yang mencapai 80 persen imunisasi dasar lengkap, dari sebelumnya 80,4 persen menjadi 85 persen.

“Sedangkan target pada anak usia 0–11 bulan yang dapat imunisasi dasar lengkap naik menjadi 92 persen dari 91,6 persen pada 2016,” tandasnya.

Pendekatan Agama

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Asrorun Ni’am Sholeh, menilai kondisi tersebut harus segera ditangani secara serius, terutama kepada pemerintah agar lebih gencar lagi dalam melakukan terobosan dalam melakukan sosialisasi, termasuk dengan penjelasan yang menggunakan pendekatan agama.

“Karena pada sebagian masyarakat, omongan ulama tentang medis justru lebih didengar dibanding dokter. Karena imunisasi itu merupakan hak anak atas perlindungan kesehatan dirinya,” kata Asrorun. Selama ini, pendekatan tersebut sebenarnya telah dilakukan. Salah satunya dengan mengajak sejumlah ulama untuk datang ke pabrik vaksin guna meyakinkan bahwa vaksin tidak lagi berasal dari kultur babi. Diakuinya, untuk meyakinkan hal tersebut bukan perkara mudah. “Namun, biarkan para ulama melihat sendiri proses pembuatannya agar bisa menjelaskan ke masyarakat untuk tak ragu memberi vaksin pada anak-anaknya,” papar Asrorun.

Exit mobile version