Jakarta, – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan perlunya penguatan sistem perlindungan anak di satuan pendidikan setelah meningkatnya kasus kekerasan di sekolah, madrasah, dan pesantren dalam beberapa bulan terakhir. Dalam dua bulan terakhir, terjadi enam kasus kekerasan di satuan pendidikan yang berujung pada korban jiwa, sementara hingga Oktober 2025, sementara 26 kasus anak mengakhiri hidup, dan sepertiganya dipicu oleh situasi di lingkungan pendidikan.
Dalam Rapat Koordinasi bersama Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, pada Senin (18/11/2025) di Jakarta, KPAI mendorong pembenahan menyeluruh pada mekanisme pencegahan, pelaporan, dan penanganan kekerasan di institusi pendidikan.
Anggota KPAI Aris Adi Leksono mengungkapkan bahwa rentetan kasus kekerasan dipicu oleh sejumlah faktor, antara lain budaya disiplin keras, minimnya konselor dan tenaga kesehatan jiwa, hingga implementasi SOP penanganan dan pelaporan kekerasan yang belum optimal. Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan antara sekolah, keluarga, dan dinas pendidikan. Aris menambahkan bahwa rendahnya literasi digital turut menjadi pemicu maraknya kekerasan dan perundungan, terutama karena tingginya paparan anak terhadap konten berbahaya.
“Meskipun 81,5 persen anak sudah menggunakan ponsel, hanya 37,5 persen yang mendapat literasi digital. Indonesia bahkan berada di peringkat keempat dunia untuk kasus pornografi anak secara daring,” jelasnya.
Dari sisi ruang digital, Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komunikasi Digital (Komdigi), Alexander Sabar, menegaskan komitmen pemerintah dalam menciptakan ruang digital yang aman dan ramah anak. Ia menyoroti hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas) sebagai langkah strategis melindungi hak anak dalam penggunaan sistem elektronik. Ia menyampaikan bahwa Pemerintah sedang merampungkan aturan turunan berupa Peraturan Menteri yang disusun bersama berbagai pihak, termasuk PSPK dan platform digital global.
“Hingga November 2025, terdapat 34 laporan konten tidak ramah anak, dan relatif sedikit berasal dari KPAI maupun instansi sektoral lainnya. Namun jumlah yang kecil bukan berarti kondisi sudah aman. Justru hal ini menunjukkan perlunya penguatan pengawasan secara bersama,” tegasnya.
Rapat koordinasi ini menghasilkan kesepahaman penting mengenai penyusunan rekomendasi kebijakan bersama untuk pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan. Kegiatan menjadi momentum untuk memperkuat komitmen seluruh pemangku kepentingan dalam mewujudkan satuan pendidikan yang aman, ramah anak, dan bebas dari segala bentuk kekerasan. (Ed:Kn)












































