Jakarta, – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bersama dengan LBH APIK Jakarta, ECPAT, Seknas Jarak, DTZ, Yayasan Sakura, Yayasan Sejiwa, Fakultas Hukum Universitas Indonesia menggelar diskusi pada, 24 Oktober 2025. Dalam diskusi tersebut KPAI menyampaikan keprihatinan mendalam atas meninggalnya seorang anak perempuan berusia 14 tahun yang diduga menjadi korban eksploitasi disebuah tempat Spa di Jakarta pusat kebugaran untuk laki-laki yang telah terdaftar secara resmi oleh dinas/kementrian terkait.
Peristiwa ini mencerminkan lemahnya perlindungan negara terhadap anak dari praktik eksploitasi ekonomi dan seksual, serta menunjukkan indikasi kuat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Ai Maryati Solihah, Anggota KPAI menegaskan bahwa kematian anak tersebut bukanlah peristiwa tunggal, melainkan bagian dari sistem eksploitasi terorganisir yang melibatkan kelalaian pengawasan negara dan korporasi. Oleh karena itu, negara wajib memastikan penegakan hukum yang adil, berpihak pada korban, dan berperspektif perlindungan anak serta gender.
Dalam diskusi tersebut, menyepakati tujuh desakan:
- Mendesak Direktorat PPA/PPO Bareskrim Polri untuk mengambil alih atau memberikan asistensi langsung terhadap penyidikan kasus ini. Pendampingan langsung diperlukan agar penyidikan dilakukan dengan perspektif perlindungan anak dan gender, serta untuk memastikan tidak ada konflik kepentingan. Langkah ini juga penting untuk membongkar jaringan pelaku yang lebih luas, termasuk pihak-pihak yang merekrut, memperkerjakan, dan memfasilitasi praktik eksploitasi anak di Delta Spa.
- Polres Jakarta Selatan, harus segera melakukan penyelidikan yang transparan, akuntabel, dan berpihak kepada korban, dengan mempertimbangkan kerentanan korban sebagai anak dan kondisi keluarga yang miskin secara struktural. Penyelidikan tidak boleh berhenti pada penyebab kematian, tetapi harus menelusuri secara menyeluruh dugaan tindak pidana perdagangan orang, eksploitasi seksual, serta kekerasan berbasis gender yang terorganisir di balik perekrutan korban.
- Polri harus melakukan ekshumasi (pemeriksaan ulang jenazah) guna memastikan ada atau tidaknya unsur kesengajaan penghilangan nyawa, kekerasan seksual dan kekerasan fisik yang dialami korban. Pemeriksaan forensik ini merupakan bagian penting dari upaya mengungkap kejahatan berlapis terhadap anak.
- Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Pariwisata dan selanjutnya di tingkat Daerah Dinas Ketenagakerjaan serta Dinas Pariwisata yang menerbitkan TDUP harus segera mencabut izin operasional Delta Spa dan seluruh jaringannya, karena telah melanggar ketentuan hukum ketenagakerjaan dan memperkerjakan anak di bawah umur. Sesuai dengan Pasal 68 UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan mengenai pelarangan pengusaha mempekerjakan anak dan sanksi pidana serta administratif yang berlaku, terlebih jika indikasi adanya eksploitasi seksual, langkah pencabutan izin ini harus didasarkan pada Pasal 15 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang memberikan dasar hukum untuk menjatuhkan sanksi tambahan terhadap korporasi pelaku kekerasan seksual, termasuk pencabutan izin usaha atau pembubaran badan hukum. Penegakan pasal ini penting untuk menunjukkan bahwa negara tidak menoleransi eksploitasi anak oleh badan usaha dengan dalih kegiatan ekonomi.
- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) wajib menjangkau dan memberikan perlindungan hukum bagi keluarga korban, memastikan tidak ada tekanan atau paksaan dalam proses pencabutan laporan polisi, serta menjamin hak korban dan keluarganya atas keadilan dan pemulihan.
- Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kompolnas RI harus membentuk tim investigasi independen lintas lembaga untuk mengawal proses hukum, memastikan adanya akuntabilitas negara, dan mencegah impunitas bagi pelaku, baik individu maupun korporasi.
- Presiden Republik Indonesia bersama kementerian terkait, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian PPPA, Kemenparekraf, Kemenkes dan Kementerian Sosial harus memastikan bahwa tempat-tempat hiburan, spa, dan usaha sejenis tanpa pekerja anak dan terlindungi dari resiko PMS. Negara melalui K/L harus memperkuat sistem pengawasan lintas sektor, pencegahan, dan menerapkan mekanisme perlindungan anak dan pekerja perempuan dijalankan di setiap sektor ketenagakerjaan dan pariwisata.
Latar Belakang Kasus
Korban diduga telah bekerja sejak usia 13 tahun di sebuah tempat spa yang melayani pengunjung pria dewasa. Ia ditemukan meninggal dunia pada awal Oktober 2025. Berdasarkan temuan lapangan, KTP dengan identitas bukan milik korban, sehingga memperkuat dugaan terjadi pemalsuan identitas untuk meloloskan perekrutan anak di bawah umur supaya legal secara administratif. Keluarga korban sebelumnya sempat melaporkan kasus ini pada 13 Oktober ke Polres Jakarta Selatan, namun kemudian mencabut laporan karena kondisi sosial ekonomi yang rentan.
Pencabutan laporan, tidak dapat menghentikan proses hukum, karena kematian anak akibat dugaan eksploitasi merupakan tindak pidana serius yang tidak bisa didamaikan. Aparat penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat umum harus melihat fakta bahwasannya meninggalnya korban adalah hasil dari ketiadaan sistem yang dapat melindunginya dari eksploitasi dan keluarga korban merupakan indirect victim atau korban tidak langsung yang tetap berhak untuk mendapatkan keadilan dengan adanya pemenuhan restitusi dan kompensasi yang layak. Peristiwa ini menunjukkan absennya negara melindungi hak anak, terutama hak anak perempuan. Pencegahan dan pengawasan seharusnya menjadi hal integral sehingga peristiwa ini tidak terjadi.
Analisis dan Kerangka Hukum
Kasus ini merupakan pelanggaran serius terhadap berbagai ketentuan hukum nasional dan internasional, antara lain:
- Pasal 76I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu pelarangan atas menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi ekonomi dan/atau seksual terhadap anak.
- Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang menyebutkan bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila korporasi terlibat dan memperoleh keuntungan dari tindak pidana.
- Pasal 1 angka (1) dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), yang menegaskan bahwa perekrutan, penampungan, pengiriman, atau penerimaan seseorang dengan penyalahgunaan posisi rentan atau penipuan untuk tujuan eksploitasi termasuk TPPO.
Selain itu, kasus ini juga melanggar komitmen internasional Indonesia sebagai negara pihak pada Konvensi Hak Anak (CRC), CEDAW, serta Konvensi ILO Nomor 138 dan Nomor 182, yang mewajibkan negara untuk melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi ekonomi dan seksual.
Kegagalan Sistemik dalam Perlindungan Anak
Peristiwa ini, merupakan pelanggaran HAM terhadap anak, dengan indikasi kuat adanya unsur Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan akibat dari sistem eksploitasi terorganisir yang melibatkan badan usaha dan lemahnya pengawasan negara.
Selain itu, adanya unsur dari gagapnya negara dalam menjamin hak-hak anak, khususnya anak perempuan yang memperlihatkan tidak efektifnya negara dalam menjalankan fungsi pengawasan dan penegakan hukum terhadap eksploitasi anak oleh badan usaha. Pengawasan ketenagakerjaan hanya bersifat administratif, tidak menyentuh aspek perlindungan anak dan gender. Penegak hukum kerap berhenti pada penyebab kematian, tanpa menelusuri rantai eksploitasi dibaliknya.
Ketimpangan sosial ekonomi keluarga korban membuka ruang bagi perdamaian semu yang justru menutup jalan keadilan. Kondisi ini memperlihatkan impunitas struktural pelaku dengan kekuasaan ekonomi dapat menghindar dari tanggung jawab pidana melalui tekanan dan kompromi, pungkas Ai. (Ed:Kn)
