Ketika Anak-anak Menjadi Otak Kejahatan Siber

JAKARTA – S, anak berusia 12 tahun, sudah pernah mengakses konten pornografi. S mengaku melihat konten terlarang itu karena penasaran dan diajak teman.

“Warnet (warung internet) itu seperti apa? Saya kira mau main game, eh ternyata diajak buka begituan (konten Porno),” ujarnya polos.

Ada rasa takut dalam diri S setelah menonton konten tersebut. Gambar yang ia lihat terserap dan terus berputar ulang di dalam kepalanya.

Dia melaporkan kegelisahaannya itu kepada sang ibu. “Ibu saya marah-marah, terus melarang saya bergaul dengan anak-anak itu lagi. Saya nurut saja,” tuturnya.

Anak laki-laki itu menyebutkan banyak teman di sekitarnya yang sering melihat video porno atau bermain game yang sering menunjukkan kekerasan.

Hal-hal tersebut menjadi biasa didengar dalam percakapan teman sepermainan karena warnet bukan lagi tempat asing. Hampir setiap hari, anak sebaya S di lingkungannya menghabiskan waktu berjam-jam di warnet.

“Setelah mengerti main di warnet, banyak yang jadi keasyikan. Ada yang fokusnya ke game, ada yang buka begituan. Ada yang sekali ketahuan langsung diomelin habis-habisan oleh orangtuanya,” ujar S.

Akses internet yang begitu mudah dijangkau anak-anak membuat para orangtua resah. Yani, 37, mengkhawatirkan anak sulungnya yang hampir setiap hari pergi ke warnet setiap pulang sekolah.

“Terutama setelah mendapat pelajaran komputer. Dia jadi sering ke warnet dengan alasan ingin belajar dan mengerjakan tugas,” tuturnya.

Awalnya Yani senang karena berpikir anaknya bisa cepat belajar dengan sering bermain internet.

Namun, lama-kelamaan perasaannya berganti khawatir, apalagi sejak belakangan ini muncul kasus pemerkosaan oleh anak akibat kecanduan pornografi melalui internet.

“Susah melarangnya (pergi ke warnet). Karena saya sendiri tidak bisa membelikan komputer. Ya saya percaya saja sama anak. Yang penting saya ingatkan terus, jangan buka yang aneh-aneh, belajar yang benar, ibadah yang benar,” tuturnya.

Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya bekerja keras mengamankan anak dari konten terlarang di internet melalui program Save Children on the Internet.

Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Kombes Mohammad Fadil Imran mengatakan pihaknya berusaha mencegah di hulu. Mencegah anak-anak terpapar konten pornografi dan kekerasan lebih jauh.

Upaya itu diharapkan tidak hanya mencegah korban jatuh lebih banyak, tetapi juga mencegah munculnya bibit-bibit pelaku kejahatan pornografi dan kekerasan dari anak-anak.

“Kami yang merasakan ini, ketika anak menjadi pelaku dan juga menjadi korban. Paling tidak dengan adanya polisi siber, tidak akan timbul korban, juga pelaku,” tuturnya.

Ia menambahkan, saat ini pihaknya bekerja sama dengan berbagai instansi terkait untuk memperkuat pencegahan. Semua bekerja dengan peran masing-masing.

Kementerian Komunikasi dan Informatika, misalnya, bertugas memblokir situs internet pornografi, Dinas Pendidikan mengedukasi para pelajar, sedangkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia memberikan pendampingan dan sosialisasi.

“Kami tidak perlu bermimpi semua akan mendukung kampanye ini. Kami kasih kesadaran dulu berinternet sehat untuk anak, dan kesadaran orangtua,” jelasnya.

Internet Sehat

Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika Ismail Cawidu mengatakan, sebagai pengawas dan pembuat regulator, Kemkominfo memiliki beberapa program untuk membentengi anak dari kejahatan siber.

Khusus bagi anak, pihaknya memiliki program internet sehat yang dilakukan Direktorat Jenderal Aplikasi dan Informatika (Aptika) Kominfo.

“Dari program ini kami mengajarkan anak-anak bagaimana menggunakan internet dengan baik,” jelas Ismail.

Sejak 2011, kata dia, pihaknya tercatat sudah memblokir 753 ribu akun pornografi. Hanya, Indonesia sebagai negara demokrasi merupakan negara hilir penerima berbagai situs tersebut.

“Sehingga sangat sulit memblokir situs tersebut sebelum masuk ke Indonesia. Makanya kami berupaya menguatkan peran warga negara seperti program internet sehat ini.”

Komisioner KPAI Erlinda mengingatkan para orangtua untuk lebih konsen memperhatikan anaknya agar tidak terpapar pornografi dan kekerasan. Rasa tertarik yang berganti kecanduan, menjadi bibit awal potensi kejahatan.

“Rasa kecanduan itu lama-kelamaan membuat sang anak melakukan sesuatu dan mencontoh apa yang dia lihat. Akhirnya ada anak yang jadi korban pemerkosaan, dan malah jadi pelaku juga,” kata Erlinda.

Pengawasan dari orangtua, menurut Erlinda, memang tidak cukup untuk membentengi anak-anak. Setiap instansi terkait harus aktif melakukan sosialisasi mengenai bahaya kejahatan siber.

“Semua orang harus diedukasi dan diberi pemahaman agar anak-anak tidak salah langkah,” kata Erlinda.

Exit mobile version