Ketua KPAI Asrorun Ni’am Sholeh: Pengebirian Tak Langgar HAM

Kisah tragis bocah perempuan berusia 9 tahun yang dicabuli, dibunuh, lalu dimasukkan dalam kardus dan dibuang dalam kondisi terikat di Kalideres, Jakarta Barat, menyita perhatian sejumlah menteri dan organisasi terkait. Guna memberikan efek kejut terhadap tindak kekerasan seksual pada anak yang kian parah, Presiden Joko Widodo mendukung usulan pemberatan hukuman pelaku dengan dikebiri.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni’am Sholeh menilai pengebirian tidak melanggar hak asasi manusia.

“Menghukum itu bagian dari pembatasan hak asasi seseorang, jadi dibenarkan dalam kondisi tertentu untuk kepentingan retribusi melalui mekanisme hukum,” kata dia dalam perbincangan dengan majalah detik di kantornya, Rabu, 21 Oktober 2015.

Merujuk penjelasan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, jenis hukuman kebiri sudah lama dijalankan di Inggris, Amerika Serikat, dan Korea Selatan. Soal payung hukum untuk hukuman kebiri, menurut Niam, Presiden akan mengkaji kemungkinan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) ketimbang merevisi Undang-Undang Perlindungan Anak yang butuh waktu lebih lama.

Berikut wawancara lengkap majalah detik dengan Ketua KPAI Asrorun Ni’am Sholeh:

Seperti apa suasana pertemuan dengan Presiden Jokowi kemarin?

Pertemuannya mendadak. Sebelumnya, saya ada agenda Rapat Koordinasi Nasional Perlindungan Anak di Papua. Tetapi, sore hari menjelang berangkat ke Papua, saya mendapat undangan rapat kabinet terbatas dengan agenda pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap anak di Indonesia. Ini agenda yang memang kami dorong agar ada perhatian serius dari pemimpin tertinggi.

Ketika kasus kekerasan pada anak kembali marak, KPAI secara khusus berkirim surat pada Presiden dan juga menyampaikan hasil pertemuan nasional dengan pegiat perlindungan anak sebanyak 26 organisasi masyarakat. Salah satu resolusinya adalah mendorong keterlibatan Presiden untuk menunjukkan komitmennya.

Pertemuan dari rapat terbatas itu sangat dinamis dan solutif. Ada komitmen yang tampak dari Presiden untuk memberikan jawaban secara konkret terhadap masalah-masalah kekerasan yang terjadi pada anak-anak kita. Eskalasinya memang meningkat, baik kuantitatif maupun kualitatif.

Apa saja komitmen yang dihasilkan?

Pertemuan didahului pendahuluan dari Presiden, berisi kegelisahan atas kasus-kasus kekerasan pada anak, lebih khusus kekerasan seksual yang belakangan beritanya muncul dengan marak. Dalam proses diskusi, Presiden mengarahkan solusi yang bersifat memiliki daya kejut dan efek jera. Kemudian menjadi shock therapy agar kasus kejahatan pada anak itu bisa terminimalkan. KPAI memberi masukan penanganan kekerasan pada anak harus dimulai dari hulu sampai hilir. Hilirnya adalah penghukuman.

Selama ini, yang terjadi (adalah) lemahnya mekanisme hukum yang ada sekarang, baik KUHP maupun UU Perlindungan Anak belum cukup memberikan efek jera. Karena itu, salah satu solusinya yakni pemberatan hukuman dengan penerapan hukuman tambahan dalam bentuk pengebirian. Presiden merespons baik. Menteri Kesehatan memberikan beberapa opsi terkait teknis pelaksanaannya, yaitu bisa dengan suntik atau bedah saraf.

Pak Kapolri memberikan komentar terkait cantolan hukumnya. Karena, tak mungkin melakukan pengebirian tanpa ada payung hukumnya. KPAI menyarankan lewat mekanisme perpu karena, kalau merevisi undang-undang, akan butuh waktu lama. Presiden langsung meminta staf menyiapkan.

Kalau di hulu, ada masalah apa?

Hasil survei dan telaah KPAI, salah satu faktor yang menjadi pemicu dan penyebab terjadinya kekerasan pada anak itu karena rentannya ketahanan keluarga. Ini menjadi induk dari tindak pelanggaran hak anak, mulai penelantaran, kemudian terjadi tindak kekerasan, sampai narkotika dan pencabulan.

Jadi salah satu upayanya dengan peningkatan persiapan pranikah. Kementerian Agama harus lebih serius merevitalisasi lembaga kursus calon pengantin yang sebenarnya ada tapi nyaris tidak berfungsi. Kemudian maraknya pornografi yang sangat mudah diakses anak-anak. Lalu maraknya tayangan kekerasan di media TV, film, dan juga games/permainan anak yang menyebabkan anak mengimitasi tindak kekerasan. Hulu harus diselesaikan juga.

Kondisi kekerasan pada anak dari data KPAI?

Kami punya data kompilasi dari 2011 sampai 2015, trennya memang naik. Cuma tren itu ada kemungkinan kasusnya itu naik atau kasusnya stabil, akan tetapi kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan itu meningkat.

Oh ya, yang mengusulkan pengebirian sebetulnya siapa dalam rapat tersebut?

Secara eksplisit dimulai dari Jaksa Agung, kemudian diamini oleh Menteri Sosial dan KPAI secara prinsip. Untuk kepentingan pemberatan hukuman, itu menjadi ikhtiar solusi untuk menjawab persoalan ini.

Kok malah Jaksa Agung yang mengusulkan pemberatan….

Ini seharusnya menjadi simbol ada komitmen kuat dari penegak hukum. Harus diikuti aparat di bawahnya. Sering kali ada beberapa jaksa yang tidak optimal memberikan penuntutan karena faktor kemalasan, misalnya, atau faktor lain yang jamak terjadi yang meskipun tidak bisa dibuktikan.

Kesepakatan dalam forum itu bulat?

Begitu hal tersebut disampaikan, kemudian Presiden menegaskan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari solusi yang memberikan daya kejut dan efek jera. Presiden pun meminta lebih lanjut bagaimana teknis pelaksanaannya. Mensos juga menyampaikan rujukan beberapa negara yang sudah menerapkan hukuman serupa, seperti di Inggris, Amerika, dan Korea Selatan.

Negara-negara ini bisa dijadikan rujukan atau referensi. Ini tidak dilaksanakan seperti mengebiri kucing dengan memotong alat kelamin. Tetapi bagaimana hasrat seksual itu dikurangi, yang menjadi salah satu pendorong terjadinya tindak kekerasan.

Ada yang berpendapat pemberatan hukuman itu melanggar hak asasi?

Menghukum itu bagian dari pembatasan hak asasi seseorang, jadi dibenarkan dalam kondisi tertentu untuk kepentingan retribusi melalui mekanisme hukum. Kalau orang tidak bersalah kemudian ditempatkan di penjara, itu baru melanggar hak asasi manusia.

Demikian juga, kalau ini sudah menjadi kesepakatan politik yang kemudian dituangkan dalam mekanisme hukum untuk kepentingan lebih besar dalam kerangka memberikan efek jera dan perlindungan anak secara utuh, maka itu dibenarkan. Perlu diingat, ini bukan hukuman pengganti, tapi statusnya hukuman tambahan. Bukan lantas setelah dikebiri lalu dilepas.

Anda tadi mengatakan mekanisme hukum kita lemah dalam hal perlindungan anak….

Mekanisme hukum formal kita melalui Undang-Undang Perlindungan Anak, baik yang lama maupun yang revisi, vonis maksimal atas pelaku kejahatan anak, khususnya kejahatan seksual, itu 15 tahun. Ada pemberatan hukuman sepertiga dari hukuman maksimal jika pelakunya orang-orang yang memiliki afiliasi terdekat, baik orang tua, pendidik, dan pengasuh.

Itu norma hukumnya. Tetapi jarang sekali, jika terjadi tindak kejahatan dan masuk pada proses hukum, vonisnya maksimal. Paling banter 5, 7, 8, atau 10 tahun. Dengan adanya kesenjangan antara norma dan vonis ini, semakin melemahkan proses penegakan hukum. Semakin lemah, semakin orang tidak takut untuk mengulangi perbuatannya.

Ada kelemahan dalam UU Perlindungan Anak?

Dalam proses vonis, jarang yang sampai 15 tahun karena soal pembuktian. Kalau dalam perpu itu, sebaiknya bisa disiapkan juga soal mekanisme pembuktiannya. Mekanismenya bisa disederhanakan. Sementara ini pembuktian formal masih menggunakan pendekatan konvensional. Sementara, kasus kekerasan pada anak, khususnya kejahatan seksual, itu kan berlangsung tertutup, di bawah ancaman, tidak ada saksi. Jadi perlu ada terobosan dari sisi pembuktiannya.

Pengebirian dengan cara suntik dinilai tidak efektif. Bagaimana, misalnya, kalau hukuman penjara pelaku sudah selesai? Seperti apa mekanismenya?

Soal efektif atau tidak, ini kan sudah menjadi ikhtiar. Ketika diverifikasi di antara masalah yang menjadi penyebab keberulangan tindak kejahatan terhadap anak, salah satunya adalah hukum yang belum menjerakan. Makanya ikhtiarnya dijawab dengan solusi ini. Solusi ini memang butuh keberanian secara politik. Komitmen politik dalam rapat terbatas itu adalah wujud konkret dari upaya menjawab permasalahan. Tentu kita bisa berspekulasi, efektif atau tidak.

Sempat ada usulan hukuman mati?

Sempat KPAI merekomendasikan itu. Bahkan pada saat penyusunan perubahan undang-undang di akhir 2014 lalu. Misalnya kalau seseorang melakukan tindakan kejahatan seksual, seperti perkosaan terhadap anak kemudian menyebabkan kematian anak atau tidak mati tetapi menyebabkan hilangnya ingatan karena faktor trauma hebat.

Dalam kondisi ini sebenarnya sangat mungkin diberikan pemberatan hukuman dengan hukuman setimpal. Kalau dia melakukan tindakan yang menghilangkan nyawa anak menjadi sah dalam konteks mekanisme retributif, maka ya hilang nyawa juga. Layak dihukum mati. Apalagi jika dia melakukan secara berulang. Sering kali kasus kejahatan terhadap anak itu dilakukan residivis, seperti yang terakhir. Ini kan fakta, dan faktanya tidak tunggal. Di berbagai daerah, kasus seperti itu juga muncul.

BIODATA:
Nama: Asrorun Ni’am Sholeh
Tempat/Tanggal Lahir: Nganjuk, 31 Mei 1976
Jabatan: Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Istri: Lia Zahiroh
Anak:
1. Ahmad Raushan Fikr Aslaf
2. Ahmad Bahr Mughriq Aslaf
3. Ahmad Tajul Ulama Aslaf
4. Aisha Laali Adzkiya Aslaf

Pendidikan:
1. SDN Garu III, Nganjuk
2. MTs Negeri Termas, Nganjuk
3. MAPK Jember
4. Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Institut Agama Islam Al-Aqidah, Jakarta, tamat 1997
5. Fakultas Syariah, Universitas Imam Muhammad Ibnu Sa’ud (LIPIA) Saudi Arabia di Jakarta, tamat 2001
6. Program Studi Syariah dan Hukum, Pascasarjana IAIN, Jakarta, tamat 2002
7. Program Doktor, Sekolah Pascasarjana UIN, Jakarta, konsentrasi bidang syariah, tamat 2008

Organisasi Profesi:
1. Masyarakat Ekonomi Syariah, Ketua Kompartemen Kerja Sama antar-Lembaga Negara, 2014-2018
2. Majelis Ulama Indonesia, Sekretaris Komisi Fatwa, 2010-2015 dan 2015-2020
3. World Halal Food Council, Ketua Komite Syariah, 2014-2016

Buku:
1. Perspektif Hukum Islam dalam Merespons Dinamika Kemasyarakatan, Jakarta, MUI, 2015
2. Membumikan Islam Rahmatan lil Alamin, Depok, Pena Nusantara, 2015
3. Detik-detik Perlindungan Anak, Depok, Pena Nusantara, 2012
4. Solusi Hukum Islam terhadap Masalah Kebangsaan dan Keumatan, Jakarta, MUI, 2012

Exit mobile version