Kontroversi Kebiri, KPAI Minta Tafsir HAM Tidak Pro Pelaku

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) kembali menegaskan komitmennya untuk mendukung hukuman kebiri kimiawi bagi pelaku kejahatan seksual terutama pada anak-anak. Hal tersebut disampaikan Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh kepada CNN Indonesia, Minggu (1/11).

“Kejahatan seksual terhadap anak sudah sampai taraf membahayakan. Jangan sampai negara ini lemah dan permisif terhadap kejahatan seksual anak,” kata Niam.

Lebih jauh, Niam mengatakan beragam modus telah dilakukan oleh pelaku kejahatan seksual, yang tidak hanya akan melemahkan korban tetapi juga bisa berpotensi melemahkan sistem hukum perlindungan anak.

“Indonesia merupakan negara hukum dan negara yang menghormati hak asasi manusia. Namun, harus diingat bahwa mahzab hak asasi manusia Indonesia berpijak pada Undang-Undang Dasar 1945,” katanya.

Berdasarkan UUD 1945, ujar Niam, terutama pasal 28, hak asasi manusia dibatasi oleh kepentingan perlindungan hak asasi orang lain. Jadi, menurutnya, dalam mendefinisikan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan perspektif utuh, seringkali tak berimbang.

“Perspektifnya cenderung pada kepentingan HAM pelaku, sementara korban terus berjatuhan,” katanya.

Penerapan hukuman kebiri kimiawi bagi pelaku kejahatan seksual, katanya, tidak akan menjadikan Indonesia sebagai satu-satunya negara yang memberlakukan sangsi tersebut. Niam mengatakan beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, Jerman dan Swedia juga telah menerapkan hukuman kebiri.

“Jangan sampai penafsiran HAM secara parsial membuat Indonesia tidak tegas kepada paedofil,” katanya.

Sebelumnya, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendesak pemerintah menjalankan sistem rehabilitasi dibandingkan hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual.

Direktur Institut Pemberdayaan Perempuan dan Anak Indonesia Ninik Rahayu mengatakan rehabilitasi lebih efektif daripada memberikan hukuman kebiri.

“Mengapa bukannya sistem rehabilitasi yang dibangun. Ini malah dengan hukuman kebiri yang justru merupakan kekerasan juga,” kata Direktur Institut Pemberdayaan Perempuan dan Anak Indonesia Ninik Rahayu di Jakarta, Jumat (30/10).

Ninik mengatakan pelaku kekerasan seksual perlu mendapatkan rehabilitasi di mana rehabilitasi itu diberikan saat pelaku menjalani hukuman pidana. Rehabilitasi dinilai perlu agar pelaku tidak mengulangi perilakunya sehingga tidak muncul lagi korban-korban baru.

“Setidaknya mereka belajar penghargaan kepada tubuh, bagaimana relasi laki-laki dan perempuan, dan bagaimana fungsi alat alat reproduksi,” kata Ninik.

Exit mobile version