KPAI : 320 Anak Terpapar Kriminalitas, Pencegahan Tugas Orangtua, Maksimalkan Peran Rumah Aman

TINDAK kriminalitas yang melibatkan anak di bawah 17 tahun memunculkan keresahan. Tak sepantasnya mereka menjalani hukuman dengan usia begitu belia. Padahal, masih ada masa depan yang bisa mereka rangkai dengan mengejar pendidikan pada usia tersebut.

Ketua Harian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Samarinda Aji Suwignyo kepada Kaltim Post menjelaskan, fenomena itu muncul karena kekeliruan dalam pemahaman ke anak. “Sebab, mulai pendekatan hingga cara berkomunikasi sangat berpengaruh kepada kondisi anak,” jelasnya.

Dalam penanganan kriminalis di bawah 17 tahun, sedianya ada sistem peradilan anak berupa diversi. Aparat penegak hukum mengupayakan para pelaku mendapat keringanan hukum hingga terlepas dari jerat sanksi pidana. Hanya, menurut Aji, itu belumlah cukup. “Bukan sekadar diversi kemudian selesai. Apa yang ingin dilakukan setelahnya, itu yang harus dipikirkan,” cecarnya.

Sebab, apabila proses hukum tak berjalan optimal, pelaku anak berisiko besar mengulangi perbuatannya itu. Sebab, menurut hasil kajian mereka, 75 persen remaja yang sudah menjalani proses diversi, kembali menjalani tindakan kriminal. Itu untuk kasus diversi yang prosesnya tak selesai.

Dorongan mengulangi itu disebabkan beberapa faktor. Dari sisi psikis, anak pelaku kriminal merasa terkucilkan. Upaya meredam pengulangan tindak kriminal oleh anak, mereka tempuh dengan menggenjot pembinaan di rumah aman.

Lanjut Aji, rumah aman sedianya khusus untuk korban kekerasan terhadap anak. Lewat pembinaan di rumah aman, diharapkan perkembangan psikis anak-anak bisa diperbaiki. Tidak hanya korban atau pelaku kriminal, rumah aman diberdayakan untuk membina anak jalanan atau remaja putus sekolah. “Sedikit demi sedikit kami bantu pendidikan mereka,” ujarnya.

Dalam kurun Januari–Oktober 2017, terdapat 320 anak terpapar aktivitas kriminalitas. Penyebab paparan itu cukup sepele, yakni karena anak-anak tidak mendapat perhatian cukup dari orangtua. Hal itu kemudian menjadi gerbang kenakalan remaja. Mencegah potensi itu, orangtua harus memperbaiki pola komunikasi kepada anak. Tak melulu menggunakan posisi orangtua-anak, juga bisa dengan posisi sebagai rekan sebaya.

Ditemui terpisah, Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kaltim Eka Komariah Kuncoro menuturkan, pihaknya tengah berupaya masuk ke kelompok-kelompok remaja. Cara itu, menurut Eka, pihaknya bisa mengetahui aktivitas di lingkaran mereka. “Kemudian, kita bisa memahami hingga memudahkan pengambilan keputusan,” tegas Eka.

Senada dengan Aji, Eka menyebut komunikasi menjadi aspek krusial dalam menekan angka kenakalan remaja. Lewat cara itu, orangtua bisa mengetahui perkembangan anaknya.

Exit mobile version