Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Maria Advianti, meminta semua kalangan untuk mewaspadai kejahatan seksual pada anak melalui saluran media sosial.
Advianti mengungkapkan, sejak Januari hingga Oktober 2014, tercatat 784 kasus kekerasan seksual anak.
“Itu artinya, rata-rata 129 anak menjadi korban kekerasan seksual setiap bulannya. 20 persen anak menjadi korban pornografi,” kata Maria, melalui keterangan tertulisnya, Selasa 2 Desember 2014.
Ia mengatakan, umumnya anak menjadi korban pornografi dan kekerasan seksual online, melalui media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, chatting, Path, dan lain-lain.
Dengan paparan foto anak tanpa busana, wisata seks anak, bahkan anak dibujuk dan dipaksa untuk melakukan kegiatan dengan perantara teknologi (sexting). Ia menambahkan, data kekerasan seksual anak melali kategori ini meningkat dibanding tahun lalu, yang mana mencapai 525 kasus.
Hasil temuan KPAI, lanjutnya, juga menunjukan 90 persen anak terpapar pornografi internet saat berusia 11 tahun, dan sebagian besar terjadi ketika mereka sedang mengerjakan PR.
“Beberapa situs dapat menyebabkan anak terpapar tanpa sengaja ketika sedang mengakses internet,” kata Maria.
Maria Advianti menambahkan, kejahatan online mengincar anak sampai ke wilayah pribadi anak. Melalui media sosial, misalnya, predator anak dapat meretas informasi pribadi anak, mengolah informasi tersebut untuk tujuan negatif yang merugikan anak. Bahkan dapat membuat anak menjadi korban penculikan, trafiking, dan pemerasan.
“Untuk itu, KPAI mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memasukkan kurikukum internet sehat dan aman bagi anak. Selain itu, meminta Kementerian Kominfo meningkatkan upaya pencegahan penyebarluasan pornografi demi perlindungan anak,” pinta Maria.
KPAI juga mengajak orangtua, keluarga, dan masyarakat berperan aktif dalam melakukan perlindungan anak dari pornografi dan kejahatan online.