KPAI Ajak Ubah Cara Pandang Urus Akta Kelahiran

RPJMN 2019  tentang pencapaian akta kelahiran ditarik capaiannya menjadi RPJMN 2017. Dari data laporan semester I Kemendagri tahun 2017 menyatakan Pemerintah menargetkan pencatatan 85% akta kelahiran dari data anak Indonesia yang mencapai 80.281.466 anak. Berarti sekitar 68.239.246 anak diharapkan sudah memiliki lembar kenal lahir tersebut. Berarti dalam 60 hari harus ada 83.140 lembar akta kelahiran yang harusnya tercatat dalam pencatatan sipil Negara kita.

Mengemban amanah sebagai Komisioner Hak Sipil dan Partisipasi Anak di KPAI, saya mencoba melakukan inovasi layanan. Dengan mengangkat berbagai potensi yang dapat membantu percepatan hal tersebut. Hal yang pertama yang di lakukan adalah menemui Muhammad Ridwan seorang anak yang mendapat apresiasi dari Zetizen.com atas perjuangannya membuat akta kelahiran teman teman sebayanya. Tinggal di kampung padat Cipinang dan menjadi anak jalanan sejak kecil. Ridwan belajar tentang pentingnya akta kelahiran.

Ridwan menyampaikan pemahaman petugas tentang UU Adminduk masih minim. Dalam melihat kelahiran anak. Ada dua azas yang dibahas, pertama azas peristiwa dan kedua azas domisili sebagai dasar pencatatan. Petugas masih sering kurang update, masih menggunakan azas peristiwa dalam UU ini padahal sudah dirubah, sehingga banyak hambatan dalam syarat keluarnya akta kelahiran. Sedangkan bagi yang menggunakan azas domisili, bisa menjadi jalan keluar, termasuk saya yang dulu berada di jalanan.

Ridwan melanjutkan, begitu juga dengan pelibatan Pemerintah dalam partisipasi anak. Seringkali mereka tidak perhatian tentang 4 pilar, tidak hanya MPR yang punya 4pilar, kami juga, selorohnya. 4 pilar itu adalah 4 pilar partisipasi anak yang baik. Apabila tidak perhatikan 4 pilar itu maka pemerintah ataupun lembaga yang melibatkan anak, secara tidak langsung melakukan eksploitasi secara ekonomi.

4 Pilar itu adalah pertama anak diberi kapasitas, kedua anak diminta melakukan study lapangan untuk melihat apa yang  terjadi sesungguhnya, ketiga anak menyampaikannya di Musrembang atau pelibatan aktif anak dalam program pemerintah, keempat anak mendapatkan feedback balik.  Dan 4 pilar ini terlalu sering dilupakan. Sehingga saya seringkali mengkritik langsung pemerintah yang menyelenggarakan kegiatan dengan anak, hanya untuk unsur menyenangkan.

Anak tidak hanya sekedar butuh itu, partisipasi mereka juga harus dikembangkan. Kalau lihat atraksi politik, aksi politik sekarang cenderung perpecahan dan memprihatinkan. Hal itu disebabkan sejak dini generasi bangsa kita minim perhatian dan dilibatkan, hak politiknya sejak dini tidka dikenalkan. Harusnya tidak terjadi aksi anarkis dalam  menyampaikan aspirasi atau pendapat, apalagi seperti sekarang aksi bully dan saling benci. 4 Pilar bisa jadi pencegah aspirasi politik yang brutal dari generasi muda kita.

Kemudian selepas bertemu Ridwan, saya melanjutkan perjalanan menuju Jalan Dahlia Kramat Pulo Senen, disana ada sederet tenda tenda yang dianggap liar oleh Satpol PP. Mereka sudah hidup hampir 45 tahun beranak pinak dan menjadi penghuni di pinggir rel arah stasiun senen. Bahkan mereka sudah bisa mengakses program SJSN dengan kartu kartu sakti milik pemerintahan Presiden Jokowi. Saya menjumpai sekitar 15 an anak anak putus sekolah. Saat ditanya, katanya mereka butuh pendampingan belajar. Dan KPAI menawarkan solusi kejar paket A atau B agar membantu anak anak tetap bisa menyelesaikan Wajib Belajar 12 tahun. Di area ini perlu mendapat perhatian lebih, karena hampir 30 KK hidup seadanya dan jauh dari sanitasi, tentunya lebih memprihatinkan kondisi anak anak. Belakangan dari bilik tenda pinggir rel Jalan Dahlia ini, muncul Monica yang mengharumkan nama bangsa menjadi perwakilan anak anak Indonesia di even WHO dengan berangkat ke Kanada bicara Penghapusan Kekerasan Anak pada Oktober 2017 ini.

Melihat situasi dan masukan dari berbagai pihak ini, perlu merubah cara pandang sejak awal dalam mengurus dan melindungi anak anak kita. Sejak awal kelahiran sampai pengembangan partisipasi mereka. Negara perlu mengantisipasi, karena gagalnya pencatatan, menyebabkan anak anak berpotensi tidak selamat dan mendapatkan kekerasan berlapis. Pencatatan akte kelahiran sering gagal karena cara pandang kepengurusan yang harus dirubah. Diantaranya adalah ketika proses persalinan mendekati Hari Perkiraan Lahir (HPL). Karena disanalah genuine data, verifikasi data dapat dikejar oleh petugas. Karena ketika tidak tercatat akhirnya kondisi anak menjadi complicated. Banyak korban anak yang ditemui, akibat status anak yang sudah berlapis lapis dan tidak mudah ditelusuri, sehingga status anak rawan di palsukan. Seperti Anak yang dibawa ke luar negeri, anak yang lepas dari orang tua kandungnya, anak angkat, anak berpindah pindah akibat konflik, anak dijual atau mengalami trafikking dan anak anak yang tidak diketahui status orang tuanya.

Artinya sejak awal dari jelang kelahiran, sebenarnya pencatatan sudah harus aktif sebagaimana bunyi regulasinya ‘stetsel aktif’. Artinya Negara harus hadir dalam pencatatan kelahiran. Makanya cara pandang pencatatan harus mulai mau berubah, kalau tidak maka pemenuhan target pencatatan kelahiran dan partisipasi anak anak sejak awal tidak akan pernah bisa diharapkan massif terbangun. Yang ada Negara ini akan terus mengalami kehilangan generasi bangsanya sendiri (lose generation). Kisah anak anak yang telah berhasil di luar negeri, kemudian datang ke Indonesia mencari orang tuanya adalah contoh bahwa pentingnya sebelum kelahiran proses aktif pencatatan sudah dilakukan, anak anak yang kecewa dan menjadi korban bahkan pelaku, bisa dikarenakan kondisi berat berlapis yang dihadapinya. Dan muasal status tak jelas dari kelahiran, menyebabkan anak terus menerus mengalami eksploitasi.

Dan itu semua akhirnya tidak dapat terdeteksi, karena sudah lepas dari hari H kelahiran. Artinya Negara tidak ada pilihan lain. Demi menyelamatkan generasi bangsa sejak awal dan mencegah kekerasan berlapis pada anak maka fungsi RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Walikota, Gubernur, Rumah Sakit, Rumah Sakit Ibu dan Anak, Dukun Beranak harus dibunyikan dalam UU Adminduk. Kalau perlu para petugas diberi sanksi, bukan karena ingin menjebak, tapi untuk mengurangi cost sosial, psikologis kita dalam berbangsa. Karena anak anak ini kedepan bisa jadi potensi atau ancaman akibat ulah kita sendiri. Akibat aksi oknum yang memindahkan anak anak tersebut dalam berbagai cara.

Oleh karena itu UU Adminduk yang menjadi payung pencatatan sipil warga Negara harus mau berubah cara pandang. Karena sejatinya pencatatan bisa di verifikasi dan validasi (verivali) ketika datang hari kelahiran, minimal sebulan sebelumnya. Negara harus hadir dengan memasukkan peran RT, RW, Rumah Sakit, Rumah Bersalin, Rumah Sakit Ibu dan Anak, Dukun Beranak untuk melakukan pendataan. Kenapa semua yang disebutkan itu harus berperan, karena pengalaman situasi anak anak yang dilahirkan, pertama ada yang dibuang, ada yang berpindah tangan, hilang di rumah sakit ataupun dijual. Sehingga antisipasi awal para aparatur negara bisa jadi solusi kongkrit pembenahan akta kelahiran dan kedepannya partisipasi anak lebih mudah dibangun.

Ayo, mari berubah cara pandang kita terhadap cara pencatatan kelahiran. Karena jika ditahap awal saja tidak berhasil, bagaimana kita bisa tahu permasalahan anak yang kedepannya semakin kompleks. Sudah saatnya kita lebih aktif dalam penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia. Mindset anak adalah milik orang tua atau milik kita sendiri harus berubah. Anak Indonesia adalah anak kita semua, karena perlindungan anak kita butuh tangan kita semua. Tidak dapat kita tangani sendiri. Tentu dengan hal hal mempertimbangkan kepentingan terbaik anak dalam melibatkan berbagai pihak

Exit mobile version