KPAI Akan Fokus Tangani Masalah Anak Yang Terlibat Hate Speech Di Medsos

JAKARTA – Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang baru terpilih menyadari tantangan luar bisa dalam melaksanakan tugasnya.

Komisioner KPAI Putu Elvina mengatakan untuk memberikan perlindungan terhadap anak, tidak bisa diserahkan kepada KPAI saja tapi harus dibantu tak hanya oleh pemerintah tetapi juga seluruh elemen bangsa.

Sebab kata dia anak itu adalah potensi yang diberikan Tuhan menjadi penerus dari generasi bangsa Indonesia. Maka selayaknya  mereka tumbuh dalam lingkungan yang kondusif, terpenuhi hak-haknya serta  terlindungi juga lingkungan dan kesehatannya.

“KPAI yang diamanahkan dalam undang-undang, menurut dia,  untuk melakukan pengawasan terkait penyelenggaraan perlindungan anak tentu saja tidak bisa melakukan kerja sendiri. Kita butuh satu negara se-Indonesia untuk menggerakan dan mengupayakan anak-anak Indonesia terlindungi,” tegas Putu pada diskusi bertema Tantangan Komisioner KPAI baru di media center DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (7/6).

Sebab saat ini ujarnya banyak anak-anak menjadi anggota geng motor dan begal. Begitu juga dengan  isu pengasuhan anak yang menjadi tantangan bagi KPAI dalam memformulasikan kerja-kerja dan program-program berikutnya. Kalaui hal itu bisa diwujudkan di  Indonesia, Putu mengakui tidak akan muncul lagi yang namanya father lose (punya ayah tapi tidak berayah atau punya ibu tapi tidak beribu).

“Nah ini yang kemudian kita formulasikan kembali dengan mengajak semua SKPD di tingkat daerah maupun nasional, dan Kementerian terkait untuk membuat program-program yang tepat sasaran kepada masyarakat. Jadi KPAI tidak serta merta melakukan pengawasan 100 persen,” ujarnya.

Dia juga menyebut kakau selama  ini KPAI menangani 4 ribu kasus anak berkaitan dengan hukum. KPAI imbuh dia concern kepada pemberatan hukuman kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

Sebab  sejauh ini diakuinya rata-rata putusan hukum  terhadap pelaku kejahatan seksual itu masih berkisar dari 5 tahun sampai 7 tahun. Sementara hukuman  15 tahun penjara kepada pelaku masih sangat sedikit.

“Kami masih melihat lagi apakah pemberatan hukuman itu bisa serta merta menyelesaikan masalah? Sebab di tingkat pencegahan tidak optimal. Jangan sampai kita fokus di hilir di hulunya tidak,” kata Putu.

Putu lebih lanjut juga mengakui saat ini banyak anak Indonesia yang terlibat kasus terorisme, pornografi, cyber crime  dan sebagainya. Bahkan kasus terbaru ada anak  yang terlibat hate speech karena bergaul di media sosial dan akhirnya keluar fatwa MUI

“Menjadi fenomena dan tantangan di era digital sekarang ini, kita tidak bisa lagi mengatakan perlindungan anak itu masalah domestik,” demikian Putu Elvina.

Exit mobile version