KPAI: Anak Bangsa Sangat Mudah Terprovokasi

JAKARTA – Kasus pembunuhan yang menimpa siswa SMA Taruna Nusantara Magelang menjadi pukulan telak bagi dunia pendidikan. Apalagi kini insiden yang merenggut nyawa Krisna Wahyu itu terjadi di lembaga pendidikan khusus yang nota bene siswanya dipersiapkan sebagai pemimpin di masa mendatang.

Bahkan siswa yang bersekolah di tempat itu tidaklah sembarangan. Selain harus yang memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata, juga harus berkarakter.

Menurut Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda, pendidikan karakter yang selama ini ditanamkan terhadap anak bangsa harus dievaluasi. Sebab begitu mudahnya seseorang berbuat anarkistis yang berujung pada merenggutnya nyawa orang lain.

“Ada suatu hal yang menjadi pekerjaan rumah bersama, bahwa anak bangsa sangat mudah sekali terprovokasi dengan hal buruk,” kata Erlinda kepada JawaPos.com, Sabtu (1/4).

Dia menyebut, dalam pembelajaran dan keseharian anak harus lebih dikuatkan kembali untuk menciptakan karakter. Sekolah dan keluarga bisa menanamkannya melalui kegiatan dan pembelajaran. “Misalkan disusupkan bahwa hak untuk mengambil nyawa seseorang adalah tuhan. Dan setiap manusia punya suatu kehormatan sesai dengan agama etika dan moral,” ujar dia.

Sementara di SMA Taruna Nusantara ini siswanya selain diajarkan kedisiplinan, ilmu pengetahuan, keagamaan juga diberikan pendidikan karakter. Sehingga sangat ironi sekali kasus pembunuhan terjadi di lingkungan pendidikan terpilih.

Di sisi lain, sambung Erlinda, pihak SMA Taruna Nusantara tidak bisa seluruhnya disalahkan atas kasus ini. Pasalnya pada waktu pembunuhan terjadi adalah saat orang-orang tertidur pulas.

Berdasarkan informasi pelaku melancarkan aksinya sekira pukul 04.00 WIB dini hari. Sehingga memang tidak ada pengawasan pamong pengawas siswa. “Artinya memang sudah ada niat, dan kesalahan dalam berpikir dan konsep hidupnya si pelaku,” katanya.

Sekadar informasi, Krisna Wahyu dibunuh usai dia meminjam ponsel genggam milik pelaku Andi Muhammad Ramadhan (AMR). Namun ponsel itu disita oleh pamong atau pengasuh karena memang ada larangan terhadap siswa menggunakan HP di lingkungan sekolah.

Akhirnya pelaku meminta kepada korban untuk mengurus ponsel tersebut, namun Krisna Wahyu tidak mau. Hal itu menyulut emosi AMR.

Exit mobile version