Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Susanto menilai kasus yang menimpa gadis cilik berusia delapan tahun, Angeline, merupakan bentuk tindak kekerasan dari keluarganya. Susanto menilai Angeline tak merasa nyaman sekalipun berada di rumah bersama keluarga angkatnya.
“Kasus yang menimpa Angeline menunjukkan bahwa lingkungan keluarga dan sekolah belum menjadikan anak aman dan nyaman,” ujar Susanto ketika dihubungi, Kamis (11/6).
Menurutnya, dalam posisi demikian maka anak rentan menjadi korban kekerasan oleh orang tuanya sendiri. “Ternyata tak ada tempat yang 100 persen steril dari potensi kekerasan. Faktanya, banyak anak yang dalam pengasuhan orang tuanya sendiri juga menjadi korban kekerasan,” ujar Susanto.
Diketahui, Angeline yang diadopsi Margriet Megawe ditemukan tewas terbunuh dan telah terkubur di halaman belakang rumah Margiet di Jalan Sedap Malam Nomor 26, Sanur, Denpasar, Bali. Hasil autopsi Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, menyatakan Angeline tewas karena benturan di kepala.
Angeline dibunuh oleh bekas pembantu keluarga angkatnya, Agustinus Tai Mandamai. Keluarga Angeline menyatakan bocah itu hilang pada hari ia terbunuh, 16 Mei. (Baca: Polisi: Ibu Angkat di Kamar Saat Angeline Dibunuh di Rumah)
Sementara itu, pihak kepolisian juga tengah membidik Margriet sebagai tersangka. Kamis (11/6), Margriet kembali diperiksa polisi.
“Hasil survei tahun 2012 di sembilan provinsi dengan responden anak, menunjukkan ternyata pelaku kekerasan menduduki posisi tertinggi adalah ibu. Bisa jadi karena volume ibu ketemu anak lebih banyak dibandingkan ayah -yang umumnya bekerja di luar rumah,” ujar Susanto.
Sementara itu, kesaksian wali kelas dan kepala sekolah Angeline, beberapa bulan sebelum kematiannya, mengindikasikan dugaan diabaikannya hak anak atas Angeline oleh Margriet.
Beberapa guru kerap menemukan Angeline mengenakan seragam sekolah dengan bau tidak enak yang menyengat dari tubuhnya. Ada pula aduan dari Angeline tentang kondisinya yang mengalami sakit kepala karena lapar.