KPAI Anjurkan Partsipasi Siswa dalam Penyusunan Tatib Sekolah

JAKARTA–Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai keterlibatan siswa dalam penyusunan tata terib di lembaga pendidikan menjadi salah satu syarat terwujudnya sistem pendidikan ramah anak.

Partisipasi anak dalam penyusunan tatib akan membuat anak patuh dan melahirkan rasa memiliki (sense of belonging)  terhadap peraturan sekolah. Partisipasi dilakukan guna mencegah maraknya kenakalan di sekolah ditengarai akibat tidak diikutsertakannya siswa dalam proses internal lembaga pendidikan.

“Anak tidak akan tertekan dengan adanya peraturan sekolah karena dia merasa ikut mengatur dan membuatnya,” kata Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto saat menjadi pembicara di Seminar Membangun Pesantren dan Sistem Pendidikan Ramah Anak di Ponpes Al Nahdhah Islamic Boarding School, Depok, Rabu (18/05/2016).

Susanto menambahkan sistem pendidikan ramah anak telah digodok Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) sejak 2014. Sistem ini berangkat dari kondisi faktual sekolah yang sarat dengan pendisiplinan berbau kekerasan terhadap anak.

“Dalam konteks sekolah ramah anak, adalah keterlibatan siswa dalam perumusan tatib sekolah. Ketika siswa dilibatkan, siswa punya sense of belonging, sehingga aturan nyaman karena dia terlibat dalam penyusunan,” tegasnya.

Beberapa indikator dalam sistem pendidikan ramah anak adalah sekolah bebas dari rokok, NAPZA, bullying, pornografi dan makanan tidak sehat. Menurut Susanto, semua hal tersebut menimbulkan efek negatif dalam kegiatan belajar mengajar siswa di sekolah.

Sementara itu, pembicara lainnya Reza Indragiri Amriel menegaskan pendidikan agama saat ini menjadi tren untuk menurunkan kenakalan remaja. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari survei di Inggris yang menunjukkan 77 persen warga setuju pendidikan agama masuk ke dalam kurikulum nasional.

“Riset sudah semakin kuat, hasilnya semakin tinggi pendidikan agama di sekolah maka kenakalan remaja semakin turun,” kata alumnus doktoral psikologi forensik Australia ini.

Ditambahkannya, penanaman nilai agama menjadi salah satu metode untuk menerapkan sistem pendidikan yang berkualitas. Namun, dalam beberapa kajian di Amerika Serikat, penanaman nilai membutuhkan waktu lama, uang dan investasi yang besar.

“Oleh sebab itu, sejumlah pakar psikologi menawarkan sistem pendidikan yang berangkat dari mengubah perilaku anak,” jelasnya.

Penanaman perilaku berarti dimulai dari hilir dengan cara menerapkan peraturan yang ketat di sekolah. Peraturan ini mencakup penghargaan dan sanksi terhadap peserta didik di sekolah.

“Harus dipastikan segala tindak tanduk anak didik harus mendapat penghargaan, sebaliknya harus ada sanksi yg terdiri dari tiga unsur, reward dan sanksi harus bermakna, harus segera dilaksanakan dan harus konsisten dalam pelaksanaannya,” katanya sambil tersenyum.

Exit mobile version