Kementerian Perdagangan tetap menerapkan larangan penjualan minuman keras (miras) di minimarket mulai 16 April 2015. Untuk itu, Kemendag telah memberikan pengarahan kepada dinas perdagangan daerah untuk menjatuhkan sanksi yang tegas bagi minimarket yang membandel.
”Sudah ada sosialisasi kepada pemerintah daerah untuk dapat menerapkan kebijakan ini tepat waktu, yaitu mulai 16 April. Tidak akan dievaluasi kembali, semua daerah harus menerapkan ini,” ujar Dirjen Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan Widodo Minggu (12/4).
Dia menegaskan, tidak ada pembedaan dalam penerapan kebijakan tersebut. Karena itu, daerah-daerah wisata seperti Bali juga harus menaati. Namun, pihaknya menyadari, pelaksanaannya nanti bergantung ketegasan pemda masing-masing. ”Kita lihat saja nanti, mana yang tegas mana yang tidak,” ungkapnya.
Menurut aturan, lanjut Widodo, minimarket yang masih memperjualbelikan miras setelah 16 April diberi surat teguran tertulis pertama. Jika masih bandel, mereka diberi teguran kedua hingga teguran ketiga. ”Nah, kalau sampai teguran ketiga tidak mempan, izin usahanya bisa dicabut,” tegasnya.
Dia menerangkan bahwa SIUP (surat izin usaha perdagangan) merupakan kewenangan menteri perdagangan, namun telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Karena itu, yang akan memberikan surat teguran adalah pemda. Sementara itu, pencabutan SIUP masih bisa berdasar rekomendasi Kemendag. ”Kita bisa beri rekomendasi bagi yang bandel agar dicabut izinnya,” kata dia.
Widodo menegaskan bahwa kebijakan itu merupakan amanat Peraturan Menteri Perdagangan No 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Perubahan Kedua atas Permendag No 20/M-DAG/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. ”Larangan penjualan miras diperluas sampai ke golongan A (alkohol di bawah 5 persen, Red),” tuturnya.
Dalam regulasi itu, penjualan hanya boleh di supermarket atau hipermarket dengan menunjukkan identitas dan penjualan di kafe atau restoran hanya boleh diminum di tempat. Sanksi tegas disiapkan supaya minimarket melaksanakan dengan sungguh-sungguh. ”Kalau SIUP dicabut lebih repot lagi, karena itu artinya nggak boleh jual apa pun. Permen pun tidak boleh,” lanjutnya.
Langkah tersebut diambil setelah pihaknya mendengarkan banyak masukan dan adanya keluhan masyarakat yang menyatakan bahwa penjualan minuman beralkohol di minimarket sudah mulai mengganggu dan mengancam masa depan anak muda. ”Sekarang minimarket menjamur di mana-mana, dekat sekolah, masjid, rumah sakit, jadi itu berbahaya kalau dibiarkan,” tuturnya.
Aturan pembatasan peredaran minuman beralkohol tipe A di minimarket mendapat sambutan baik dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Sekretaris KPAI Erlinda mengatakan, aturan tersebut secara tidak langsung dapat melindungi remaja dari bahaya minuman beralkohol. Sebab, akses untuk mendapatkan minuman beralkohol itu tidak akan sebebas saat ini.
Dia melanjutkan, bahaya yang dimaksud adalah upaya coba-coba untuk mencampur minuman beralkohol tipe A itu dengan bahan-bahan lain atau dioplos. Hal tersebut dilakukan untuk mendapat efek yang lebih ”nendang” dari minuman yang mereka tenggak. ”Kalau sudah begitu, nyawa taruhannya,” tuturnya.
Terlebih, sambung Erlinda, saat ini tidak ada aturan baku untuk pengawasan anak dalam hal pembelian minuman beralkohol. Para remaja mendapat akses bebas untuk membeli minuman beralkohol di minimarket-minimarket yang memang selalu menyediakan. ”Padahal, seharusnya karena mereka belum cukup umur, maka tidak diperkenankan. Tapi, oleh pramuniaga, itu tidak diperhatikan,” jelasnya.
Bukan hanya para remaja, kebebasan penjualan minuman beralkohol tersebut pun ditakutkan akan disalahgunakan anak-anak. Rasa ingin tahu yang berlebihan bisa memicu mereka untuk mencicipi minuman tersebut. Karena itu, Erlinda menyatakan sangat mengapresiasi langkah pemerintah untuk melakukan pembatasan.