KPAI Berikan Pendampingan bagi Korban Persekusi FPI

JAKARTA – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Tim Penangganan Perlindungan Perempuan dan Anak (TP2PA), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Kementerian Sosial akan mendatangi Polda Metro Jaya hari ini, Jumat (2/6) untuk melakukan koordinasi terkait persekusi yang dilakukan oknum Front Pembela Islam (FPI) terhadap bocah berumur 15 tahun berinisial P. Komisioner KPA Erlinda mengatakan, masalah ini murni kekerasan terhadap anak. Karena itu, negara bertanggungjawab memberikan perlindungan, termasuk mengawal proses penegakan hukum terhadap para pelaku.

“Selain memberikan pendampingan, kami berkoordinasi dengan aparat hukum untuk mencegah efek domino buruk yang bisa terjadi kapan pun,” kata Erlinda kepada SP, Jumat (2/6).

KPAI, kata Erlinda, sangat menyangkan sikap sejumlah oknum FPI yang melakukan kekerasan psikologis maupun fisik kepada anak atas nama agama. Kalau pun korban mengeluarkan ujaran kebencian atau fitnah seperti yang dituduhkan, tidak menjadi alasan oknum FPI main hakim sendiri.

“Yang menyatakan benar atau tidaknya adalah aparat hukum, jangan ada sekelompok orang main hakim sendiri, ini bukan hukum rimba,” kata Erlinda.

Erlinda mengatakan, ada hal yang perlu diluruskan dari kasus P ini. Pertama, kasus ini murni kekerasan pada anak, bukan urusan antar agama. Perlindungan terhadap korban P bukan untuk memihak salah satu agama, tetapi penegakan hukum. Kedua, apa yang dilakukan oknum FPI adalah pelanggaran hukum, terutama terhadap UU Perlindungan Anak, karenanya proses hukum harus ditegakan untuk.

Bahkan, apabila P dilaporkan ke kepolisian atas tuduhan menebar ucapan kebencian atau fitnah terhadap ulama, sistem peradilan anak tetap mengutamakan perlindungan hak-anak anak. KPAI terus mengawal kasus ini untuk memastikan korban mendapatkan hak-hak-nya saat berhadapan dengan hukum. KPAI juga memastikan seluruh perangkat negara yang berfungsi melindungi anak memberikan pendampingan.

Menurut Erlinda, persekusi oleh oknum FPI terhadap P dalah tindakan tidak beradap, yang bertentangan dengan asas negara Pancasila dan negara hukum. Bahkan, kata dia, ini sebuah bentuk teror baru yang berawal dari sikap intoleransi.

Kasus kekerasan dan main hakim sendiri oleh oknum yang mengatasnamakan agama ini harus ditindak tegas, sebelum makin meluas dan mengancam kenyamanan maupun keamanan masyarakat, terutama mengancam tumbuh kembang anak-anak. Sebab, kata Erlinda, sikap-sikap intoleransi maupun radikalisme belakangan ini menjadi contoh buruk bagi anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Ini mendorong anak menduplikasi apa yang dilihat dan didengar.

“Jangan lupa anak itu peniru yang ulung, mereka bisa meniru sikap-sikap seperti ini dan melakukannya kepada orang lain kelak. Yang lebih dikhawatirkan, video kekerasan atas nama agama ini hanya akan menanamkan kebencian dan dendam, terutama terhadap perbedaan,” kata Erlinda.

Padahal, kata Erlinda, Indonesia saat ini tengah menggaungkan Pancasila sebagai pemersatu bangsa dan bangga sebagai negara pluralis yang hidup toleran. Tapi, masih banyak orang melakukan kekerasan dengan membawa-bawa nama agama. Indonesia adalah negara hukum bukan negara agama dimana sekelompok orang bebas melakukan kekerasan atas nama agama.

Seperti diketahui, P menjadi korban intimidasi oknum FPI karena dituduh melakukan penghinaan terhadap pimpinan FPI, Rizieq Syihab di media sosial. Video dan foto-foto yang diunggah akun Facebook Aina Naila Arkana, Rabu (31/5) memperlihatkan anak yang tinggal di kawasan Cipinang Muara, Jakarta, berusia 15 tahun dan beretnis Tionghoa ini dikeroyok beramai-ramai oleh 20-an orang dewasa di rumahnya. Anak itu diintimidasi dan disuruh menandatangani surat bermeterai yang telah disiapkan.

Exit mobile version