Jakarta, – Sebagai tindak lanjut upaya perlindungan anak dari pengaruh industri rokok, para pemangku kepentingan sepakat untuk menyusun Surat Edaran Bersama antar Kementerian (Kemdikdasmen, Kemendagri, Kemenkes, dan Kemensos), serta melakukan revisi terhadap Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 agar memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi. Opsi penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) atau Instruksi Presiden (Inpres) juga tengah dipertimbangkan untuk memperkuat landasan regulasi.
Kesepakatan ini merupakan hasil diskusi bersama yang digelar Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bersama Yayasan Lentera Anak dan Yayasan Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) dan dihadiri oleh kementerian/lembaga terkait juga lintas organisasi yakni profesi,masyarakat,perempuan, keagamana pada, Selasa (4/11/2025) di Jakarta.
Wakil Ketua KPAI Jasra Putra menegaskan bahwa pengendalian tembakau merupakan bagian penting dari perlindungan anak dan telah menjadi perhatian global.
“Komite Hak Anak PBB telah memberikan 103 rekomendasi kepada Pemerintah Indonesia, terkait pengendalian tembakau, termasuk penguatan langkah preventif dan promotif. Namun, pelaksanaan aturan di lapangan masih belum maksimal,” ujar Jasra.
Ketua Yayasan RUKKI Mouhammad Bigwanto menyoroti situasi darurat jumlah perokok anak yang kini mencapai 5,9 juta jiwa pada kelompok usia 10–18 tahun.
“Kebijakan pendidikan perlu diperkuat agar melarang keras keterlibatan industri rokok, baik secara langsung maupun tidak langsung, di lingkungan sekolah,” tegas Bigwanto.
Perwakilan Direktorat PAUD Dasmen Kemendikdasmen Dr. Khamim, menambahkan bahwa keberhasilan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sangat bergantung pada komitmen pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 151 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023.
“Keberhasilan pelaksanaan kawasan tanpa rokok akan sangat bergantung pada konsistensi kebijakan di tingkat daerah. Jika komitmen kepala daerah kuat, maka upaya perlindungan anak dari pengaruh industri rokok akan lebih efektif,” ujar Dr. Khamim.
Berdasarkan survei, 7,5 persen perokok di Indonesia berusia di bawah 21 tahun, menunjukkan pentingnya penguatan edukasi dan sosialisasi di sekolah. Karena itu, sejumlah pihak menilai perlu dilakukan peninjauan terhadap Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015, agar tidak hanya bersifat larangan tetapi juga memuat aspek promotif, edukatif, dan kolaboratif antara Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan, termasuk penyediaan layanan konseling berhenti merokok di sekolah.
Kawasan Tanpa Rokok diharapkan tidak hanya mencakup sekolah, tetapi seluruh lembaga pendidikan formal dan nonformal. Pemerintah menegaskan pentingnya analisis mendalam sebelum sekolah atau dinas pendidikan menjalin kerja sama dengan industri, agar prinsip perlindungan anak tetap menjadi prioritas. (Ed:Kn)
