KPAI : Bila Para Remaja Menjadi Begal, Apa yang Salah?

Beberapa waktu belakangan ini, kata begal atau perampasan di jalan menjadi sangat populer di masyarakat. Bukan hanya menjadi perbincangan mulut ke mulut, namun kata begal juga sering ditemui di media sosial.

Satu sama lain saling mengingatkan untuk berhati-hati dalam membawa kendaraan bermotor, karena aksi pencurian dengan menggunakan kekerasan atau yang dikenal dengan sebutan begal semakin membuat resah.

Namun demikian, yang lebih meresahkan adalah kenyataan bahwa sebagian dari para pelaku begal yang tertangkap masih anak remaja yang berusia sekitar 18 tahun.Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis bahwa tidak sedikit anak remaja yang menjadi pelaku atau bahkan menjadi korban begal.

“Ini sangat mengkhawatirkan,” kata komisioner KPAI Susanto. Untuk itu, KPAI minta pemerintah dan penegak hukum mengatasi kasus begal hingga tuntas.

“Kasus begal ini jangan sampai berlarut-larut, karena kita khawatir semakin banyak anak remaja yang menjadi pelaku atau menjadi korban,” katanya.

Menurut dia, tren yang berkembang pada saat ini menunjukkan kondisi pelaku begal atau kejahatan lainnya semakin “meremaja” atau “memuda”.

“Dengan kata lain, profil pelaku semakin hari semakin banyak yang berusia muda, bahkan ada yang berusia 18 tahun,” katanya.

Berdasarkan hal tersebut, KPAI membuat sebuah kajian mengenai pemicu keterlibatan anak remaja pada praktik begal. “Hasil kajian kita menunjukkan banyak sekali faktor penyebab anak terlibat begal,” katanya.

Yang pertama, kata dia, pengaruh lingkungan dan teman sebaya. Kedua, karena disfungsi keluarga dan yang ketiga karena cara berfikir yang serba instan. “Faktor selanjutnya atau yang keempat adalah karena dampak dari bullying yang kerap dialami,” katanya. Kelima, adalah karena dampak buruk dari tontonan yang mengandung unsur kekerasan.

Exit mobile version