Kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang terletak di jalan Teuku Umar Nomor 10, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat tampak sepi. Hanya ada dua petugas keamanan di meja resepsionis gedung bergaya Eropa abad pertengahan tersebut.
Dari bagian dalam kantor terdengar sayup-sayup suara pegawai KPAI. Waktu menunjukkan pukul 3 sore. Masih jam kerja.
Di belakang meja resepsionis tampak ruangan berukuran 3×3 meter persegi. Dalam ruangan itu terdapat sebuah meja kerja, bangku, printer, dan perangkat komputer untuk satu orang.
Dua kursi bagi tamu diletakkan tepat di depan pintu masuk ruangan ini. Pada sudut kanan ruangan ditaruh kontainer berkas abu-abu setinggi tiga tingkat. Di sudut kiri ruangan lemari berukuran sedang, yang juga digunakan untuk menyimpan berkas. Ruangan itu adalah tempat pendaftaran pengaduan.
Ruangan penanganan pengaduannya bersebelahan dengan tempat pendaftaran tadi. Pintu masuknya agak ke dalam. Jika ingin masuk, dari pintu masuk lobi pengunjung harus berjalan ke sudut kiri lobi. Setelah melewati pintu kayu coklat muda, dinding sebelah kanan ada pintu pertama. Di situlah ruangan penanganan pengaduan berada.
Jauh sebelum Ujian Nasional (UN) tingkat SMA/SMK dan Madrasah Aliyah digelar, Komisi ini membuka posko pengaduan khusus untuk menampung keluhan masyarakat seputar hal itu. Posko ini dibuka sampai berakhirnya UN tingkat SMP.
“Ruang pengaduan reguler digunakan sebagai posko pengaduan UN,” ujar Komisioner KPAI, Susanto.
Ruangan pengaduan lebih lebar daripada ruang pendaftaran. Empat meja kerja, 12 kursi, dan empat perangkat komputer berada di tengah ruangan tersebut. Semua barang-barang tersebut diletakkan memanjang ke samping, membentuk huruf “L” terbalik. Dua boks berkas setinggi tiga tingkat diletakkan di sudut kiri dan kanan ruangan. Sebuah lemari berukuran kecil tampak dibelakang meja kerja yang berada di sebelah kanan pintu masuk.
Ada empat staf yang menangani pengaduan masyarakat. Jumlah ini dianggap sudah memadai. “Tidak ada masalah kok. Biasanya KPAI hanya mendapat 7-10 aduan per hari. Kemudian sejauh ini aduan terkait UN juga baru lima,” kata Susanto.
Komisi kembali membuka posko pengaduan UN karena setiap tahun ada masyarakat yang mengenai hal itu. Selain itu, Komisi ini memang diberikan mandat oleh Undang-undang Perlindungan Anak untuk menjadi mengawasi pemenuhan hak pendidikan anak.
“UN termasuk bagian dari kebijakan pendidikan yangg menjadi obyek pengawasan. Posko dibuka untuk mendapatkan data dan input dari masyarakat luas terkait pelaksanaan UN. Jika ada pelanggaran, KPAIakan menindaklanjuti untuk penyelesaian kasusnya dan perbaikan kebijakan terkait UN,” imbuh Susanto.
Seperti diketahui, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah menetapkan, Ujian Nasional (UN) dilaksanakan mulai 13 April sampai 7 Mei 2015. UN tingkat SMA/SMK telah berlangsung pada 13 April-15 April 2015.
Bagi siswa yang mengikuti UN dengan sistem Computer Based Test (CBT) mereka masih ujian hingga pekan ini. Setelah UN tingkat SMA rampung, dilanjutkan tingkat SMP sederajat pada 4 -7 Mei 2015.
Susanto menjelaskan pihaknya menjalankan tiga bentuk pemantauan pelaksanaan UN. Pertama, membentuk posko pengaduan di kantor. Posko itu berfungsi untuk melayani masyarakat yang mengadu. Posko banyak menerima pengaduan dari orang tua yang anaknya tidak bisa ikut UN karena berbagal hal. Misalnya, ada orang tua yang melapor anaknya yang terjerat kasus tidak bisa ikut UN di sekolah.
Laporan ini pun ditindaklanjuti. “Setelah kami tanyakan, rupanya ada masalah koordinasi dengan pekerja sosial yang bertugas memfasilitasi hal itu. Kemudian kami berkoordinasi dengan Dinas Sosial, dan akhirnya anak itu akan diikutsertakan dalam ujian susulan,” tuturnya.
Pemantauan berikutnya lewat pemberitaan di media massa. Alasannya, Komisi tidak bisa mengawasi pelaksanaan UN di seluruh Indonesia. Dari media, Komisi bisa mengetahui kejadian listrik padam saat UN sistem CBT.
“Begitu kami mengetahui info tersebut, kami langsung menghubungi pemerintah daerah, dan Dinas Pendidikan setempat untuk mencari solusi atau masalah tersebut,” lanjut Susanto.
Terakhir, Komisi turun memantau pelaksanaan UN di sejumlah tempat yang berpotensi bermasalah dan bisa menghambat anak mengikuti ujian. Misalnya di lapas. Komisi sempat memantau ujian di Lapas II A Cibinong.
Dari pemantauan itu, Komisi menemukan masih rendahnya kualitas penyelenggaraan UN di tempat tersebut. “SDM pelaksananya masih kurang, dukungan dana untuk menyediakan infrastruktur pelaksanaan UN juga masih minim. Setiap tahun rata-rata masalah di lapas begitu,” ungkap Susanto.
Susanto mengaku pihaknya juga menerima pengaduan tentang adanya soal UN yang bocor dan jual-beli soal itu di daerah. Info yang diterima ini lalu kepada pihak kepolisian.
“Ini kan konteksnya sudah pelanggaran hukum. Jadi langsung kami laporkan saja, biar cepat diselidiki, dan ditindak,” katanya.
Siswa Jangan Ikut Dijerat
Kasus Kebocoran Soal
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta siswa jangan ikut diseret dalam kasus bocornya soal Ujian Nasional (UN) 2015. Menurut komisionernya, Susanto, yang patut ditindak dalam kasus ini adalah oknum yang membocorkan dokumen negara itu.
“Bocornya soal, hemat saya bukan hanya karena ada oknum pembocor. Masalah utamanya adalah sistem kerahasiaan UN yang lemah. Buktinya kan siklus semacam ini terus berulang dari tahun ke tahun,” kata Susanto.
Dia menilai, sistem manajemen UN saat ini masih membuka ruang bagi oknum untuk melakukan penyelewengan. Terungkapnya soal UN yang diunggah ke internet menunjukkan bahwa sistem pengadaan soal UN kurang ketat.
“Kebocoran soal di dunia maya jangan dianggap remeh. Efeknya besar sekali,” kata dia.
Susanto mengatakan, di tengah pesatnya perkembangan teknologi, informasi di dunia maya sulit untuk dibendung. Seketat apapun usaha pemerintah untuk menangkalnya, tidak pernah berhasil memblokirnya.
Persoalannya, kata dia, para remaja saat ini sangat lekat dengan dunia maya, sehingga sulit dideteksi soal UN itu sudah menyebar sampai mana.
Selain masalah kebocoran soal, lanjut Susanto, pihaknya juga masih menemukan banyak masalah dalam penyelenggar aan UN berbasis komputer di beberapa tempat.
“Ada masalah keterlambatan sinkronisasi antara server dan lokal yang terjadi di salah satu sekolah di Gunung Kidul, Yogyakarta misalnya,” sebutnya.
Untuk itu, kata dia, KPAImeminta kepada pemerintah agar menata dan membenahi manajemen persiapan dan proses UN secara radikal. Karena kasus demikian dari tahun ke tahun masih sering terjadi. Masalah utamanya karena manajemen dan koordinasi yang kurang, sehingga menimbulkan celah penyelewengan dan berbagai macam masalah.
“Cara menyelesaikan masalah ini, harus segera dipikirkan agar kebocoran terus berulang. Kalau tindakan tegas terhadap oknum, adalah tindakan tambahan yang diperlukan untuk menimbulkan efek jera,” tandasnya.
UN Tak Lagi Penentu Kelulusan, Laporan Kecurangan Menurun
Laporan kecurangan pada Ujian Nasional 2015, menurun. Berdasarkan pemantauan Posko Pengaduan Ujian Nasional di 46 kota kabupaten yang dilakukan oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), menurun 60 persen dibanding tahun sebelumnya.
“Tahun ini, FSGI hanya menerima 91 laporan kecurangan,” ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) FSGI, Retno Listyarti.
Ia mengatakan, sebanyak 28 laporan tersebut berasal dari siswa kelas 12 yang menjadi peserta ujian nasional. Menurut Retno, pada H-2 UN tingkat SMA, Federasi hanya menerima 2 laporan jual-beli kunci jawaban.
“Laporan tersebut berasal dari Jakarta dan Jawa Timur. Sedangkan pada 2014 lalu, pada H-3 Ujian Nasional FSGI telah menerima 11 laporan terjadinya jual beli kunci jawaban,” kata dia.
Menurut kepala SMA Negeri 3 Jakarta itu, penurunan terjadi akibat kebijakan baru pemerintah yang menetapkan ujian nasional tak lagi penentu kelulusan siswa.
Sebagai pembanding, berdasarkan data yang dimiliki FSGI, pada 2014 terdapat 304 laporan kecurangan. Hasil pemantauan selama lima tahun terakhir�”selama UN menjadi penentu kelulusan siswa, laporan kecurangan terbesar terjadi pada 2013, tercatat 1.035 laporan kecurangan ujian nasional.
“Besarnya kecurangan yang terjadi kami yakini, karena adanya tuntutan UN sebagai penentu kelulusan,” kata Retno.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto juga mendukung UN tak dijadikan penentu kelulusan. Ia mengatakan dalam setiap proses pembelajaran memang perlu ada evaluasi. Namun jika UN dijadikan penentuan kelulusan, Susanto menganggap tidak tepat.
“Dulu UN yang menentukan kelulusan itu memang hemat KPAIini belum tepat, karena ada beberapa dampak seperti psikologis maupun positioning masa depan siswa. Ada siswa yang sampai bunuh diri karena malu bakal tidak lulus lantaran tak bisa mengerjakan soal UN,” katanya.
Meski begitu, Komisi tetap menuntut adanya perbaikan sistem pada setiap proses pendidikan. Bukan hanya sistem evaluasi akhir pendidikan seperti UN.
“Laporan tentang anak-anak yang terancam tidak bisa mengikuti UN, misalnya karena dikeluarkan atau sekolah tidak boleh terjadi terus. Mereka adalah generasi penerus bangsa, sehingga menjadi kewajiban dari pemerintah untuk mendorong mereka menjadi orang yang lebih baik. Salah satu caranya dengan menjamin pendidikan yang memadai,” tandasnya.
Susanto menambahkan, pendidikan adalah salah satu proses revolusi mental yang paling mendasar. Jika layanan pendidikan saja tidak terealisasi dengan baik, tentu akan berdampak pada kegagalan agenda revolusi mental.
“Karena pendidikan sejatinya merupakan ikon revolusi mental yang mendasar. Jangan berharap kalau soal UN saja bocor dan beredar di dunia maya, revolusi mental dalam dunia pendidikan berhasil,” pungkasnya.