Terbitnya buku “Saatnya Aku Belajar Pacaran” yang tidak mendidik dan cenderung mengajarkan pergaulan bebas membuat geram sejumlah kalangan. Keberadaan sebuah lembaga atau badan sensor buku dinilai penting, mengingat kasus serupa bukan pertamakali terjadi.
Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Erlinda, mengatakan, sensor atau pengawasan isi konten buku bisa menjaga anak dan generasi muda dari bacaan yang tidak layak. Upaya perlindungan anak, tak hanya dari bentuk kekerasan fisik dan psikis. Namun juga bagaimana sebuah bacaan dan tontonan tidak membahayakan, bahkan mengancam karakter anak.
“Ide pembentukan badan sensor ini sangat baik kami kira. Kami (KPAI) mendukung pembentukan badan sensor buku sebagai bentuk perlindungan anak,” jelas Erlinda kepada HarianTerbit di Jakarta, Minggu (8/2/2015).
Saat ini, Erlinda melihat tidak ada indikator yang tetapterhadap buku yang layak edar di kalangan masyarakat. Sehingga kebebasan berekspresi ini kadang melebihi batas dan menjadi hal yang berbahaya. Menimbulkan efek negatif, diantaranya pornografi dan kekerasan.
“Pada dasarnya masyarakat juga tidak siap menerima kecanggihan informasi sehingga perlu dibendung dengan peraturan dan badan sensor. Sehingga buku yang hanya sok edukatif, tapi vulgar, tidak sampai ke tangan anak,” keluhnya.
Ia menuturkan, pembentukan badan sensor buku pasti juga menimbulkan pro dan kontra karena kemungkinan muncul pihak-pihak yang khawatir hal ini bisa mematikan kreatifitas. Namun, kata dia, hal itu tidak perlu dipermasalahkan, karena sensor buku bukan pelarangan pada karya, tapi menjaga kaidah dan norma yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Semua bisa berkreasi dengan batasan dan norma yang tidak merugikan pihak lain. Terutama hak perlindungan anak yang semakin kritis terdegradasi. “Jadi kita bisa mengonsumsi karya dari pihak yang benar-benar kompeten. Bukan mereka yang asal berkreasi. Buku yang beredar kemarin, adalah buku yang tidak bertanggungjawab. Kami melaporkan ke pihak berwajib karena sangat merugikan dan meresahkan,” tandasnya.
Erlinda berharap badan yang dibentuk dalam kaitannya dengan sensor ini bukan sekadar formalitas. Masing-masing komponen di dalamnya harus benar-benar kompeten. Tak hanya bermodalkan kepandaian mengedit naskah, namun merupakan ahli dalam berbagai kajian. Misalkan dalam kajian psikologi anak, psikologi remaja, pendidikan karakter, nilai kebangsaan, dan lain sebagainya.
“Jadi isinya orang-orang dari semua profesional, jadi paham semua mengenai pembahasan yang ditulis oleh penulis. Mereka bisa benar-benar paham juga ini cocok tidak buat anak-anak,” jelasnya.
Andreas Tambah, dari Komisi Nasional Pendidikan, mengatakan, bebasnya buku yang beredar tanpa kontrol akan memicu rusaknya karakter bangsa. Terlebih, banyak buku yang hanya mengedepankan aspek komersial dan bombastis, tanpa menjaga nilai-nilai yang dianut oleh agama dan budaya Indonesia.
“Seharusnya ada sensor dan kelayakan pada buku yang dibaca, apalagi oleh anak-anak. Khususnya remaja yang dalam masa mencari jati diri,” ungkapnya.
Ia menuturkan, meski sekolah mengajarkan teori karakter bangsa, dan orangtua menjaga anak-anak. Namun, jika buku yang dibaca anak tidak mendukung gerakan mengajarkan karakter baik, maka berisiko bagi generasi penerus bangsa.
DPR Mendukung
Secara terpisah, anggota Komisi X DPR RI, Reni Marlinawati, mendukung rencana tersebut. Dan saat ini, pihaknya sedang menggodok Undang-Undang (UU) tentang Perbukuan. Lembaga atau badan sensor buku, kata dia, akan diusulkan masuk ke dalam regulasi tersebut.
“Kami sedang membuat sistem perbukuan nasional, sebab pada era terbuka ini harus ada yang mengawasi buku yang beredar,” kata Reni.
Ia menjelaskan, UU ini akan meliputi sejumlah aspek, di antaranya yakni pengawasan pada kualitas buku yang akan dibaca oleh masyarakat dan filter buku yang akan dibaca sesuai kalangan usia. Dengan begitu, anak-anak akan terlindungi dari konten yang seharusnya hanya boleh dibaca oleh orang dewasa.
Kemudian, lanjutnya, jugapada standar harga buku. Sebab, Reni menilai, harga buku yang mahal membuat masyarakat sulit mendapatkan buku bacaan. “Kami akan mengatur semua dari hulu ke hilir, sehingga sensor hanya bagian terkecil dari elemen regulasi ini. Semua aspek dalam buku akan kita atur,” terangnya.
Terkait lolosnya buku yang dikarang oleh Toge, anggota DPR ini mengaku sangat prihatin. Ini pun disinyalir karena belum adanya sistem regulasi yang mengatur perilisan buku. Sehingga lepas kontrol dan bertentangan dengan norma Indonesia. “Ke depannya semua buku akan diatur supaya sesuai dengan norma yang ada di Indonesia,” tandasnya.