Jakarta,- Untuk mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap anak-anak dengan HIV/AIDS, masih perlu dilakukan secara massif program edukasi dengan memperkuat pelibatan K/L terkait serta komunitas dan peer leader. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan dukungan yang lebih baik bagi anak-anak dengan HIV/AIDS.
Pelibatan berbagai pihak tersebut tentu perlu disertai dengan pembagian kerja yang terukur, dalam upaya penguatan perlindungan dan akses terhadap layanan Kesehatan bagi mereka untuk selanjutnya juga dapat dimaksudkan untuk menekan terjadinya Lost to Follow-Up (LFU). Termasuk yang tidak kalah penting adalah mendorong hadirnya modul pengasuhan khusus untuk keluarga yang merawat anak-anak dengan HIV/AIDS guna meningkatkan pemahaman dan dukungan kepada mereka.
Hal tersebut disampaikan KPAI saat berdiskusi bersama dengan Kementerian Kesehatan tentang anak dengan HIV/AIDS. Dalam kesempatan tersebut, KPAI menyampaikan beberapa temuan hasil pengawasan terkait Anak dengan HIV/AIDS di beberapa daerah, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
“Saya ingin menegaskan bahwa perlindungan anak, khususnya bagi mereka yang hidup dengan HIV/AIDS, adalah tanggung jawab kita bersama. Sesuai dengan UU No. 35 Tahun 2014, setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. KPAI berkomitmen untuk mengawasi implementasi perlindungan ini dan memberikan masukan dalam kebijakan yang mendukung anak-anak kita,”. tegas Margaret Aliyatul Maimunah Anggota KPAI sekaligus Pengampu Klaster Anak dengan HIV/AIDS saat menghadiri rapat tersebut di Gedung Oase pada, Kamis (26/09/2024).
Anak-anak dengan HIV/AIDS juga terkendala oleh adanya aturan dimana pasien harus hadir secara langsung dalam mengakses layanan Kesehatan di fasilitas pelayanan Kesehatan tertentu. Permasalahan lain yang juga ditemukan dalam pengawasan KPAI adalah masalah terkait dengan ketersediaan obat untuk anak dengan HIV/AIDS sehingga ada fase anak-anak harus menggunakan obat ARV untuk orang dewasa yang dipotong.
Menanggapi temuan KPAI tersebut terkait isu ketidaktersediaan obat-obatan untuk anak dengan HIV/AIDS, Direktur Pengelolaan dan Layanan Kefarmasian Kementerian Kesehatan RI, Agusdini menyampaikan bahwa saat ini di fasilitas layanan kesehatan sudah memiliki sistem aplikasi yang bernama SMILE (Sistem Monitoring Imunisasi dan Logistik Secara Elektronik), sehingga pemantauan terhadap ketersediaan obat dapat dilakukan melalui sistem tersebut.
Khusus untuk obat HIV/AIDS bagi anak, Kementerian Kesehatan memiliki stok ARV yang sangat banyak, seperti misalnya Lamivudine dan Stavudine. Obat baru untuk usia 0-14 tahun sudah ada dosisnya, dan ketersediaan stok sangat tinggi. Untuk isu pemotongan obat, sementara ini dosis anak tidak perlu dipotong lagi karena ketersediaan di data SMILE masih sangat banyak,” tegas Agusdini.
Kementerian Kesehatan perlu data yang akurat mengenai lokasi mana saja yang mengalami pemotongan obat karena ketersediaan di data SMILE masih sangat banyak yakni berjumlah 2.990.000, yang cukup untuk 170 bulan untuk anak dan terdapat data distribusi 28.704, dengan ketersediaan stok 1.745.680, yang bisa mencukupi untuk 60 bulan ke depan atau 5 tahun ke depan, lanjutnya.
Berkaitan dengan penjelasan tersebut, tentu diperlukan tindak lanjut atas permasalahan yang disampaikan dimana letak masalahnya. “Berbagai tantangan yang dihadapi anak yang hidup ODHIV sehingga penting untuk dilakukan pengumpulan dan pemutakhiran data yang akurat untuk pengambilan keputusan yang lebih baik terkait distribusi obat dan layanan kesehatan, sehingga anak-anak dapat mengakses layanan kesehatan dengan mudah,” tutur Margaret.
Sementara itu, Irmawati selaku Tim Kerja Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Epidemiologi Kementerian Kesehatan menjelaskan bahwa daerah perlu melakukan entri data ketersediaan obat untuk sinkronisasi data dari daerah ke pusat secara real time. Kemudian, di Rumah Sakit dan Puskesmas sudah dilakukan pembinaan pada unit kerja HIV sehingga sudah dilakukan pelayanan konseling dan sudah bekerjasama dengan NGO untuk mendampingi penjangkauan sebagai upaya penanganan Lost to Follow-Up (LFU).
Kementerian Kesehatan juga sudah bekerjasama dengan berbagai pihak untuk upaya terkait dengan stigma pada anak dengan HIV/AIDS, termasuk dengan sekolah-sekolah dengan memberikan penyuluhan Kesehatan terkait, kata Irmawati.
KPAI berharap ini menjadi langkah awal dalam menyusun strategi yang lebih efektif dan berkelanjutan untuk perlindungan anak dengan HIV/AIDS di Indonesia juga untuk memastikan anak-anak dengan HIV/AIDS mendapatkan perlindungan dan layanan kesehatan yang optimal, tutup Margaret. (Rn/Ed:Kn)
Media Kontak Humas KPAI,
Email : humas@kpai.go.id
WA. 0811 1002 7727