Bandar Lampung – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bersama sejumlah mitra perlindungan anak di Provinsi Lampung melaksanakan rapat koordinasi, di Kota Bandar Lampung, pada, Kamis (03/07/2025) untuk mengevaluasi penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) terhadap anak dan layanan bagi anak penyandang disabilitas. Kegiatan ini menjadi respons atas tingginya angka kekerasan terhadap anak dan minimnya akses inklusi di wilayah tersebut.
Sepanjang tahun 2024, KPAI mencatat sebanyak 265 pengaduan korban kasus kekerasan seksual terhadap anak secara nasional. Sementara itu, berdasarkan data SIMFONI PPA tahun 2024, tercatat 586 kasus kekerasan terhadap anak di Provinsi Lampung, dengan jumlah kasus tertinggi terjadi di Kota Bandar Lampung sebanyak 127 kasus.
Dalam kegiatan pengawasan yang dilaksanakan di Bandar Lampung, Dian Sasmita, Anggota KPAI, menegaskan bahwa meskipun Undang-Undang TPKS telah disahkan sejak tiga tahun lalu, pelaksanaan di tingkat daerah masih menghadapi berbagai tantangan, baik dalam pencegahan maupun penanganan kasus.
“Meskipun Undang-Undang TPKS telah disahkan, tetapi sampai saat ini masih banyak hambatan dalam melakukan upaya pencegahan dan penanganan TPKS,” ujar Dian.
Hal senada disampaikan oleh Afrintina, Direktur Eksekutif Damar Lampung yang mengungkapkan bahwa hingga saat ini belum meratanya perspektif Aparat Penegak Hukum (APH) dalam menangani korban kekerasan berbasis gender termasuk kekerasan seksual terhadap anak. Ia juga menyoroti keterbatasan penyidik perempuan di Provinsi Lampung.
“DAMAR selama periode 2024 hingga 2025 telah mendampingi 11 korban kekerasan seksual terhadap anak, namun dari seluruh kasus tersebut belum ada satupun korban yang mendapatkan restitusi,” jelas Afrintina.
Sebagai informasi, Pasal 30 Undang Undang TPKS Nomor 12 Tahun 2022, menyatakan bahwa “(1) Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual berhak mendapatkan Restitusi dan layanan Pemulihan. (2) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; b. ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat Tindak Pidana Kekerasan Seksual; c. penggantian biaya perawatan medis dan/ atau psikologis; dan/ atau d. ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita Korban sebagai akibat Tindak Pidana Kekerasan Seksual.”
Selain isu TPKS, diskusi juga menyoroti persoalan minimnya layanan inklusif bagi anak penyandang disabilitas, terutama dalam aspek pendidikan dan kesehatan. Banyak anak disabilitas tidak dapat melanjutkan terapi atau pendidikan karena keterbatasan biaya dan akses.
Megaria Susanti, Humas Komunitas Anak Taman Surga (ATS) Lampung, menyampaikan bahwa kebijakan terhadap anak disabilitas harus dirancang secara komprehensif agar manfaatnya dirasakan semua anak. “Jika kebijakan terhadap anak disabilitas dirancang dengan baik, pasti semua anak akan merasakan manfaatnya,” ungkap Megaria.
Mengakhiri diskusi, Dian Sasmita menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk membangun sistem perlindungan anak yang responsif dan inklusif.“Penting untuk dilakukan evaluasi menyeluruh dalam setiap layanan hingga implementasi regulasi UU TPKS dan UU Perlindungan anak,” pungkasnya. (Ed:Kn)
Media Kontak Humas KPAI,
Email : humas@kpai.go.id
WA. 0811 1002 7727