KPAI : Di Balik Lagu Odong-odong…

Kereta odong-odong itu melintas di permukiman warga. Lagu dangdut bertema percintaan mengumandang dari pengeras suara. Di belakang kereta itu duduk berderet anak-anak bersama orangtua mereka.

Pemandangan ini dengan mudah kita temui di berbagai penjuru Jakarta dan sekitarnya. Odong-odong merupakan angkutan yang tidak memenuhi standar keselamatan. Meski begitu, kereta yang terdiri atas empat bangku ini tetap menjadi pilihan banyak orangtua untuk mengajak anaknya berkeliling tamasya di sekitar permukiman.

Dengan Rp 4.000, orangtua dan anak bisa menikmati satu putaran odong-odong. Namun, di tengah kemudahan mendapatkan hiburan anak itu, terselip persoalan.

Psikolog forensik Kasandra Putranto menilai, dominasi lagu percintaan untuk orang dewasa tidak pelak berimbas pada anak-anak meski efeknya tidak langsung. Kalau saban hari anak mendengar lagu serupa, bisa dibayangkan efeknya di masa mendatang.

Apalagi, lagu tersebut menjadi bagian dari ”industri cinta”. Selain lagu, produk lain dari industri ini berupa tayangan pornografi, film di televisi, gim anak, hingga media sosial.

”Anak-anak dicuci otak. Jangan heran kalau anak-anak itu nantinya tumbuh dewasa dan terbiasa dengan cinta satu malam dan mengabaikan pernikahan, seperti yang mereka terima dari industri ini,” katanya, pekan lalu.

Rentetan yang lebih parah adalah munculnya kekerasan seksual, termasuk yang menimpa anak. Kekerasan seksual muncul karena pelaku terbiasa dengan materi percintaan dan diikuti keinginan melakukan hubungan seksual. Apabila mereka tidak punya pasangan, anak-anak yang rentan menjadi korban. Anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian besar dari keluarga serta anak berkebutuhan khusus menjadi kelompok yang lebih rawan menjadi korban.

Membongkar gunung es

Dalam diskusi yang diadakan Rifka Annisa, pekan lalu, terungkap banyaknya kasus kekerasan seksual pada anak. LSM Rifka Annisa dan Savy Amira mencatat, satu dari tiga anak perempuan di Indonesia mengalami kekerasan seksual sebelum menginjak usia 18 tahun. Sementara Bareskrim Polri mencatat sekitar 1.600 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan tahun 2013.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 7.065 kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia antara 2011 dan 2013. Sejumlah 30,1 persen di antaranya adalah kekerasan seksual. Komisi Perlindungan Anak mencatat, 1.039 kasus kekerasan anak pada Januari-Juni 2014, dan 60 persen di antaranya adalah kasus kekerasan seksual.

Dewan Pengurus Rifka Annisa, Sri Kusyuniati, mengatakan, usia korban dan pelaku kekerasan seksual ini semakin muda. ”Kita belum punya strategi yang ampuh untuk mengurangi kekerasan seksual pada anak,” ucapnya.

Dalam kesempatan terpisah, Komisioner KPAI Titik Haryati menilai, kekerasan seksual pada anak yang terlaporkan masih berupa fenomena gunung es.

”Masih banyak korban yang enggan melaporkan karena menganggap masalah ini tabu dan aib untuk keluarga. Ada juga yang menganggap pengusutan kasus ini tidak pernah tuntas, dan memerlukan biaya besar untuk prosesnya,” kata Titik.

Psikolog Avin Yusro dari Rumah Sosial Perlindungan Anak Kementerian Sosial mengatakan, kemampuan mendengarkan anak juga membuat anak merasa mendapatkan perhatian. Dalam beberapa kasus kekerasan seksual, pelaku sengaja memberikan perhatian khusus pada anak terutama mereka yang tidak mendapatkan perhatian di rumah. Anak lantas percaya dan mau melakukan yang diperintahkan pelaku.

Kasandra berpendapat, seluruh hal yang berpotensi mengganggu perkembangan anak mesti disingkirkan. Sebut saja, narkoba, minuman beralkohol, materi pornografi dan kekerasan, hingga lagu yang tidak pas untuk anak-anak.

Penyediaan pendamping bagi anak korban kekerasan seksual juga mesti dilakukan agar korban tidak menjadi pelaku di kemudian hari. Penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual juga perlu dilakukan.

Kalau semua pihak memiliki tujuan yang sama, bukan tidak mungkin anak-anak kian mendapatkan rumah yang ramah di kotanya

Exit mobile version