Jakarta, 18 November 2025, — Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan bahwa media memiliki peran strategis dalam membentuk ruang publik yang aman, etis, dan berperspektif anak, di tengah maraknya pemberitaan kasus kekerasan, perundungan, dan anak berhadapan dengan hukum (ABH) yang menyebar cepat di media massa maupun ruang digital. Penegasan ini disampaikan dalam media briefing bertajuk “Membangun Media sebagai Teman Bertumbuh Anak dan Remaja secara Aman dan Sehat” yang diselenggarakan di Kantor KPAI, Jakarta.
Ketua KPAI Margaret Aliyatul Maimunah menyampaikan bahwa derasnya arus informasi yang tidak selalu disertai verifikasi dan pertimbangan etis telah menjadikan isu anak rentan berkembang menjadi narasi spekulatif, sensasional, dan berujung pada stigma. Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial dalam ekosistem komunikasi publik. “Ruang publik termasuk media dan media sosial harus dikelola sebagai bagian dari ekosistem tumbuh kembang anak, bukan justru menjadi sumber risiko baru bagi keselamatan psikologis dan sosial anak,” ujarnya.
Dalam konteks tersebut, KPAI menegaskan bahwa ruang publik yang aman dan berperspektif anak adalah ruang yang menjamin perlindungan martabat dan identitas anak, bebas dari kekerasan simbolik dan diskriminasi, serta tidak menormalisasi perilaku berbahaya melalui pemberitaan yang bias atau tanpa konteks edukatif. Setiap informasi yang melibatkan anak baik sebagai korban, saksi, maupun pelaku wajib mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Media briefing ini juga menyoroti dampak sosial dari paparan konten kekerasan yang berulang. Mengacu pada Teori Belajar Sosial, anak berisiko meniru perilaku agresif atau ekstrem yang mendapat sorotan luas dan pembenaran sosial di ruang publik. Tanpa narasi yang edukatif dan berimbang, pemberitaan dapat memperkuat siklus kekerasan, menimbulkan trauma sekunder, serta menghambat proses pemulihan dan reintegrasi sosial anak.
Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Veronika Tan menegaskan bahwa viralitas kasus anak sering kali berkembang lebih cepat daripada klarifikasi fakta dan pertimbangan etis. “Ruang publik harus menjadi ruang yang melindungi dan mendidik, bukan menghakimi. Media memiliki peran kunci dalam membangun persepsi publik yang adil, empatik, dan berpihak pada masa depan anak,” ujarnya.
Dari perspektif psikologi forensik, Sekretaris I PP APSIFOR Lucia Peppy menjelaskan bahwa eksposur identitas sekolah, lingkungan, atau kelompok sosial anak dalam pemberitaan dapat menimbulkan tekanan psikologis jangka panjang. Oleh karena itu, APSIFOR mendorong penerapan jurnalisme berperspektif trauma (trauma-informed journalism), termasuk menjaga anonimitas anak, membatasi detail sensitif, serta menyertakan informasi mitigasi dan rujukan bantuan dalam pemberitaan kasus anak.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komunikasi dan Digital Alexander Sabar menegaskan bahwa penguatan ruang publik yang aman bagi anak juga dilakukan melalui kebijakan perlindungan anak di ruang digital, salah satunya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS). Regulasi ini menempatkan perlindungan anak sebagai safety measure utama dalam penyelenggaraan layanan digital, sejalan dengan upaya peningkatan literasi digital dan pengawasan konten.
Melalui media briefing ini, KPAI mendorong terbentuknya kesepahaman dan komitmen lintas sektor melibatkan pemerintah, media, platform digital, organisasi profesi, akademisi, dan masyarakat sipil untuk memperkuat tata kelola komunikasi publik yang etis, bertanggung jawab, dan edukatif bagi anak. KPAI menegaskan bahwa media tidak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai agen pembelajaran sosial dan penjaga ekosistem ruang publik agar anak Indonesia dapat tumbuh, belajar, dan berkembang tanpa tambahan risiko dari narasi publik yang tidak berperspektif perlindungan anak.(Ed:Kn)













































