KPAI Dorong Pedoman Restitusi untuk Anak Korban Eksploitasi dan Kekerasan Seksual

Foto: Humas KPAI, 2025

Jakarta – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Yayasan BaKTI, dan Sekretariat INKLUSI menggelar Focus Group Discussion (FGD) di Kantor KPAI pada Kamis, (21/08/2025) untuk menyusun Pedoman Restitusi Anak Korban Eksploitasi dan Kekerasan Seksual.

FGD ini bertujuan menghasilkan pedoman restitusi yang komprehensif, agar hak anak korban untuk memperoleh restitusi benar-benar dapat dipenuhi secara nyata, adil dan berkeadilan.

Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah, menegaskan restitusi merupakan bagian penting dari pemulihan anak korban tindak pidana.

“Restitusi bukan sekadar mekanisme ganti rugi, tetapi bentuk pengakuan negara atas penderitaan anak korban. KPAI bersama mitra strategis ingin memastikan restitusi dapat diakses, dibayarkan, dan menjadi instrumen pemulihan yang adil bagi anak,” ujar Ai Maryati.

Restitusi sendiri adalah hak anak korban tindak pidana berupa ganti rugi atas penderitaan, kehilangan, kerugian lain. yang dialami. Meski diatur dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, implementasinya masih menghadapi berbagai kendala.

Data LPSK 2023 menunjukkan dari 726 anak terlindung, hanya 255 kasus yang restitusinya diputus hakim, dan 44 kasus yang benar-benar dibayarkan pelaku dengan total senilai Rp.382 juta. Fakta ini menandakan lemahnya efektivitas mekanisme restitusi di Indonesia.

Dalam diskusi, Maidina Rahmawati, Plt Direktur Eksekutif ICJR, menyoroti mandeknya pemenuhan restitusi meskipun sudah diatur dalam berbagai regulasi. 

“Negara harus bertanggung jawab atas minimnya realisasi restitusi. Salah satu solusi adalah memanfaatkan PNBP hasil penegakan hukum sebagai sumber pendanaan Dana Bantuan Korban. Dari Rp.9,47 triliun PNBP tahun 2023, negara hanya perlu mengalokasikan 2% untuk menjamin restitusi korban,” jelas Maidina

Wakil Ketua LPSK Susilaningtias, menambahkan bahwa keberadaan Dana Bantuan Korban (DBK) yang diatur dalam PP No. 29 Tahun 2025 adalah langkah progresif. Namun, ia menegaskan DBK tidak boleh membuat pelaku lepas tanggung jawab

“DBK penting untuk memastikan korban segera pulih tetapi tanggung jawab utama tetap pada pelaku. Negara harus tetap mendorong pelaku bertanggung jawab melalui mekanisme penyitaan, kerja di lapas, atau bentuk lain yang bisa dikontribusikan untuk restitusi,” ujar Susilaningtias.

Selain itu, lembaga pendamping seperti ECPAT, Yayasan Kasih Yang Utama, Sejiwa, dan KPAD menekankan: perlunya alur yang jelas untuk eksekusi restitusi, penilaian kemampuan finansial pelaku sejak tahap penyidikan, penghapusan mekanisme kurungan pengganti yang merugikan korban.

Melalui FGD ini, diharapkan tersusun Pedoman Restitusi Anak Korban Eksploitasi dan Kekerasan Seksual yang dapat:

  1. Menjadi acuan aparat penegak hukum dan lembaga terkait dalam menghitung serta mengeksekusi restitusi.
  2. Memastikan hak anak korban benar-benar terpenuhi, bukan hanya di atas kertas.
  3. Menguatkan sinergi antara negara, masyarakat sipil, dan lembaga layanan demi pemulihan anak korban.

Kegiatan ini menjadi langkah penting memastikan restitusi sebagai hak korban anak dapat diimplementasikan secara adil, efektif dan berorientasi pada kepentingan terbaik anak. Pedoman yang sedang disusun akan diajukan sebagai rujukan resmi dalam pemenuhan hak anak korban kekerasan dan eksploitasi seksual di Indonesia. (Ed:Kn)

Exit mobile version