Jakarta, – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendorong lahirnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) khusus tentang pelaksanaan eksekusi hak asuh anak agar proses hukum pascaperceraian berpihak pada kepentingan terbaik anak.
Dorongan ini mengemuka dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) penyusunan Rancangan Peraturan Mahkamah Agung (RANPERMA) tentang Implementasi Eksekusi Hak Asuh Anak yang diselenggarakan KPAI secara daring pada, Rabu (22 Oktober).
FGD menghadirkan narasumber dari Mahkamah Agung, akademisi, serta pegiat perlindungan anak dan perempuan dan dihadiri 425 peserta dari Kementerian PPA, Kementerian Hukum dan HAM, Bareskrim Polri, dan pengadilan agama dari seluruh Indonesia.
Anggota KPAI, Ai Rahmayanti, yang memimpin kegiatan, menegaskan bahwa hingga kini belum ada regulasi yang secara khusus mengatur pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan tentang hak asuh anak. “Banyak anak menjadi korban perebutan, pembatasan akses bertemu, hingga penyekapan oleh salah satu pihak. Mereka kehilangan masa kecilnya karena konflik orang tua,” lanjutnya.
KPAI mencatat, sepanjang 2021–2025 terdapat lebih dari 7.500 pengaduan kasus seputar konflik keluarga dan hak asuh anak. Oleh karena itu, Ai menilai penyusunan Perma harus melibatkan psikolog, pekerja sosial, tokoh agama, dan masyarakat agar aturan yang lahir berperspektif kemanusiaan dan anak.
Hakim Agung Kamar Agama Mahkamah Agung, Busra, menjelaskan bahwa pelaksanaan eksekusi hak asuh anak sering kali gagal karena pendekatan hukum yang kaku dan tidak mempertimbangkan kondisi psikologis anak “Tidak ada aturan khusus mengenai eksekusi hadhanah. Pendekatan eksekusinya tidak bisa disamakan dengan eksekusi benda, karena anak adalah subjek hidup yang bisa berpindah dan punya kehendak,” jelasnya
Busra menambahkan, kegagalan eksekusi bisa menimbulkan trauma mendalam. Penyitaan anak oleh juru sita adalah kesalahan fatal yang tidak boleh terulang. Eksekusi yang ideal harus melalui pendekatan damai, melibatkan psikolog, tokoh agama, dan aparat keamanan.
Pegiat Sahabat Anak dan Perempuan Indonesia (SAPA), Magdalena Sitorus, mengingatkan bahwa tantangan utama bukan hanya ketiadaan aturan, tetapi juga cara pandang yang belum menempatkan anak sebagai subjek utama perlindungan.“Apakah kita melihat anak sebagai subjek yang punya hak, atau sekadar objek perebutan kuasa? Regulasi boleh ada, tapi kalau perspektif penyelenggara perlindungan anak masih salah, perlindungan itu tidak akan efektif,” tegasnya.
Ia juga mendorong pembentukan pengadilan keluarga (family court) dan peningkatan kapasitas hakim agar lebih memahami perspektif perlindungan anak dan gender.
FGD ini menghasilkan sejumlah rekomendasi penting, antara lain: Perlunya regulasi khusus eksekusi hak asuh anak dengan pendekatan kemanusiaan dan berbasis kepentingan terbaik anak; Penguatan koordinasi antar lembaga—terutama antara peradilan, KemenPPPA, Kemenkumham, dan lembaga perlindungan anak; Pertimbangan khusus untuk kasus lintas negara, dengan koordinasi bersama Kementerian Luar Negeri agar putusan tidak bertentangan dengan prinsip perlindungan anak internasional. (Ed:Kn)
