KPAI Gelar FGD Tentang Zona Trafficking Dan Eksploitasi Anak Mutakhir

JAKARTA – Dalam pengamatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sejak 5 tahun terakhir masalah trafficking dan eksploitasi anak di Indonesia mengalami peningkatan. Sistem yang digunakan KPAI dalam pengawasan berbasis sistem data base telah menghimpun angka 1.499 kasus, dengan peningkatan pada setiap tahunnya, diantaranya anak sebagai korban trafficking dan perdagangan anak, anak korban eksploitasi seks komersial anak (ESKA), anak korban prostitusi online dan anak korban eksploitasi pekerja anak. Masih segar dalam ingatan kita, anak-anak korban pabrik petasan menjadi indikator masih terpuruknya nasib anak-anak di ranah eksploitasi ekonomi.

            Acara Focuss Group Discussion (FGD) tersebut bertujuan Menggali informasi dan sharing, baik temuan dan data mutakhir perkembangan trafficking dan eksploitasi anak berbasis daerah rawan , menggalang sinergi dan kerjasama untuk pengawasan trafficking dan eksploitasi anak, serta membangun strategi bersama dalam menghapus trafficking dan eksploitasi anak di Indonesia. Beberapa nara sumber yang hadir adalah Ai Maryati Solihah M.Si selaku Komisioner Bid. Trafficking dan Eksploitasi yang dipanel dengan Pak Dr.Ir. Marwan Syaukani, M.Sc., Sebagai Asisten Deputi Pemenuhan Hak Dan Perlindungan Anak Pada Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan Dan Anak dan Bapak Andy Ardian, Program Manager EPACT (End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking) Indonesia.

            Mengemuka dalam diskusi yang diadakan pada tanggal 22 November 2017 tersebut mengenai pentingnya memiliki zona kerawanan trafficking dan eksploitasi anak untuk memutus mata rantainya berbasis sistem. Ai memaparkan “Beragam kasus aktual dalam kasus lelang keperawanan melalui media sosial yang disorot KPAI dalam tahun 2017 penting disikapi secara serius oleh penyelenggara pemberdayaan  perempuan dan perlindungan anak adalah dengan cara mencegah adanya pernikahan siri, berikutnya pentingnya intervensi budaya yang ramah anak dalam kasus perdagangan bayi di Kab. Simalungun yang dilakukan oleh orang tua harus digalakkan disana bukan hanya sebatas penegakkan hukumnya’, tandasnya.

         Ia pun menambahkan”Di daerah Jabodetabek pun zona kerawanan terhadap trafficking dan eksploitasi anak masih marak contohnya kasus yang belum lama ini terjadi adanya pabrik petasan di daerah Tanggerang yang mempekerjakan anak hingga merenggut nyawa anak-anak mengindikasikan tantangan perlindungan anak semakin tinggi”, tandasnya

         Dalam pemaparan Andy, begitu biasa dia di sapa, Ia menganalisis “Pelaku eksploitasi seksual mengalami 2 cara kerja yakni frepensional dan situasional. Pelaku frepensional memang ingin menguasai anak melalui kegiatan seksual untuk peningkatan ilmu atau capaian yang diinginkan, sedangkan situasional tidak memiliki ketertarikan tetapi situasi yang ada menimbulkan kejahatan seksual. Dapat dilihat pada riset ECPAT 5 tahun terakhir meningkatnya anak laki laki yang menjadi korban eksploitasi kejahatan seksual”, paparnya.

            Berdasarkan Global Study on Sexual Exploitation of Children in Travel and Tourism 2016, meningkatnya keterhubungan antar berbagai negara di dunia, serta dukungan dari biaya perjalanan yang rendah dan persebaran internet, menyebabkan tidak ada satu pun wilayah yang tidak tersentuh oleh Seks Anak di tempat Pariwisata (Hawke dan Raphael, 2016). Beberapa studi yang telah dilakukan menyebutkan bahwa bagi beberapa seks turisme, tujuan fantasi seksual dan berpetualang di tempat yang baru menjadi alasan para wisatawan ini melakukan seks di destinasi wisata (Leheny, 1995; Rye & Meaney, 2007; Weichselbaumer, 2011). Salah satu aktivitas wisatawan yang dilakukan adalah Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) di destinasi wisata.

            Situasi eksploitasi seksual terhadap anak lebih sering terjadi di media online contohnya nikah siri.com yang di dalamnya memperjual belikan atau menyewa anak anak untuk melakukan pernikahan siri. Sedangkan pak Marwan dari Kemenko PMK menjelaskan “UUPemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Prang (PTPPO) yang memandatkan memutus mata rantai perdagangan orang masih belum bejalan dengan baik sampai saat ini.Yang harus di perkuat seperti program Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) berbasis masyarakat dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (KPPPA) harus dilakukan  bukan lagi di tingkat desa tetapi daerah lain juga seperti daerah distrik yang merupakan daerah tertinggal”,ujarnya

            Diakhir diskusi, masukan dari berbagai stake holder memberikan apresiasi pada KPAI dengan digelarnya FGD ini. Mereka memberikan masukan bahwa harus lebih berhati-hati dalam menentukan zona rawan trafficking dan eksploitasi jika hendak menggandeng Pemerintah Daerah  untuk bahu membahu memutus rantai kasus ini, sebab biasanya Pemerintah Daerah punya gengsi secara sektoral tidak mau daerahnya disebut rawan, walau kenyataannya begitu. Pendekatannya Pemerintah harus memiliki Zona intervensi dari maraknya perdagangan orang dan eksploitasi tersebut. KPAI meningkatkan upaya sistem perlindungannya tidak hanya memberikan peta kerawanan Trafficking dan eksploitasi anak, melainkan juga dengan memberi zona intervensi, supaya diketahui siapa yang sudah melakukan apa, sehingga masalah trafficking tetap bisa diintervemsi oleh berbagai stake holder.

 

 

Exit mobile version