Jakarta, 17 Desember 2025, – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menghadiri audiensi yang diselenggarakan oleh Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai upaya memperkuat sinergi antar lembaga dalam rangka mendorong reformasi Polri yang berorientasi pada perlindungan hak dan kepentingan terbaik bagi anak.
Dalam audiensi tersebut, KPAI menyampaikan sejumlah catatan kritis berdasarkan pengaduan masyarakat yang diterima sepanjang 2024 hingga November 2025. KPAI menilai masih terdapat persoalan mendasar dalam penanganan perkara anak, khususnya lambatnya proses hukum, yang berujung pada justice delayed dan ketidakadilan bagi korban anak. Penurunan jumlah laporan yang tercatat juga dinilai belum mencerminkan menurunnya angka kejadian, melainkan masih dipengaruhi oleh rendahnya tingkat pelaporan.
Anggota KPAI Sylvana Apituley menegaskan bahwa reformasi kepolisian harus menjadikan perlindungan anak sebagai bagian integral dalam seluruh proses penegakan hukum.
“Reformasi kepolisian harus memastikan setiap anak yang berhadapan dengan hukum diperlakukan secara manusiawi dan berkeadilan. Lambatnya penanganan perkara tidak hanya merugikan korban, tetapi juga berpotensi menghilangkan hak anak atas perlindungan dan pemulihan,” ujar Sylvana.
Audiensi ini dihadiri Anggota KPAI Sylvana Apituley, Ai Rahmayanti, dan Kawiyan serta dipimpin Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri Prof. Dr. H. Jimly Asshidiqie. Jimly menjelaskan bahwa audiensi tersebut merupakan bagian dari tahapan penyerapan aspirasi publik yang hasilnya ditargetkan dilaporkan kepada Presiden dalam waktu tiga bulan ke depan.
“Presiden telah mengamanatkan agar reformasi dimulai dari kepolisian, baik melalui pembaruan kebijakan operasional maupun perubahan regulasi yang bersifat fundamental,” kata Jimly.
KPAI juga menyoroti lemahnya konsistensi penerapan peraturan perundang-undangan terkait perlindungan anak, termasuk implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), serta optimalisasi Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA). Keterbatasan pemahaman aparat dan belum meratanya pelaksanaan kebijakan dinilai berdampak pada belum optimalnya perlindungan dan pemulihan anak korban.
Pada September 2025, KPAI mencatat sekitar 2.000 anak tercatat tercatat dalam penanganan kepolisian, dengan temuan kasus kekerasan, penyiksaan, serta penahanan yang melebihi batas waktu. Penanganan anak dalam konteks unjuk rasa, kasus kekerasan seksual, serta perlindungan terhadap anak kelompok minoritas dan anak di wilayah 3T juga menjadi perhatian serius KPAI.
Anggota KPAI Ai Rahmayanti menekankan pentingnya penguatan pedoman dan standar operasional prosedur (SOP) penanganan kasus anak oleh aparat penegak hukum.
“Kami mendorong adanya SOP yang jelas dalam penanganan perebutan hak asuh anak, termasuk lintas negara, serta SOP tegas terkait penerbitan DPO bagi pelaku penculikan anak agar kepentingan terbaik anak benar-benar terlindungi,” ujar Ai Rahmayanti.
Berdasarkan temuan tersebut, KPAI merekomendasikan penguatan penerapan SPPA secara efektif, peningkatan kapasitas dan pelatihan wajib aparat Polri terkait UU TPKS dengan perspektif gender, penambahan jumlah penyidik anak dan Polwan, serta penguatan Unit PPA di tingkat pusat dan daerah. KPAI mendorong integrasi materi perlindungan anak dalam pendidikan kepolisian, serta penguatan kolaborasi lintas sektor dengan pemerintah daerah dan komunitas.
Melalui audiensi ini, KPAI berharap reformasi Polri dapat menghasilkan sistem penegakan hukum yang lebih humanis, responsif, dan berorientasi pada perlindungan anak. KPAI menegaskan komitmennya untuk terus mengawal proses reformasi Polri demi terwujudnya perlindungan anak yang menyeluruh di Indonesia. (Ed:Kn)













































