KPAI : Hamil Duluan, Puluhan Anak di Bawah Umur Minta Dinikahkan

Puluhan anak di bawah umur mengajukan permohonan dispensasi pernikahan. Mereka minta dinikahkan lantaran telah hamil sebelum waktunya, atau hamil duluan.

Informasi ini didapat berdasarkan data Pengadilan Agama Kabupaten Madiun, Jawa Timur yang mencatat ada puluhan permohonan dispensasi pernikahan selama bulan Januari hingga Oktober tahun 2017.

Kepala Pengadilan Agama Kabupaten Madiun, Kafit, Selasa (24/10), menyebutkan bahwa dispensasi nikah yang mereka terima didominasi oleh anak di bawah umur telah hamil sebelum menikah. Padahal, dari segi usia, mereka belum diperbolehkan untuk menikah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Ini bukan main-main. Fenomena ini luar biasa dan perlu perhatian semua pihak,” ungkap Kafit kepada wartawan seperti dilansir dari Antara.

Data pengadilan sempat mencatat, selama bulan Januari hingga Oktober 2017, telah ada 37 pasangan anak belum cukup umur yang mengajukan dispensasi menikah karena calon mempelai wanita telah hamil duluan.

Adapun rata-rata pemohon dispensasi nikah tersebut berasal dari warga di pelosok lereng gunung, seperti wilayah Kecamatan Gemarang, Kare, dan sekitarnya.

“Pemicu utama dari hamil di luar nikah tersebut disebabkan akibat faktor teknologi yang kebanyakan menjurus ke dalam pergaulan anak remaja yang kebablasan,” ucapnya.

Ia menjelaskan terdapat dua alasan permohonan mereka mengajukan dispensasi nikah, yakni dilatarbelakangi kondisi remaja perempuannya yang sudah hamil di luar pernikahan. Lalu alasan kedua yakni ada orang tua yang menikahkan anaknya lantaran merasa khawatir melihat anaknya menjalin hubungan, sehingga lebih baik dinikahkan dini.

“Bayangkan anak umur 13 tahun atau SMP banyak yang telah hamil dan itu dipicu faktor pergaulan akibat perkembangan media sosial,” katanya.

Pihaknya berharap fenomena tersebut menjadi perhatian semua pihak berwenang. Perlu ada tindakan pencegahan dari semua pihak, mulai keluarga, pemerintah daerah, dan pihak terkait lainnya. Diharapkan dengan tindakan pencegahan, kasus dispensasi pernikahan anak belum cukup umur dapat ditekan.

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan Validnews, pihak pengadilan dapat mengetahui apakah pemohon yang mengajukan dispensasi pernikahan sudah hamil atau belum. Hal ini dikarenakan adanya poin di persyaratan pengajuan dispensasi yang menyertakan kondisi kehamilan si pemohon berdasarkan keterangan dari dokter atau bidan.

Laporan UNICEF mengungkap bahwa prevalensi perkawinan usia anak di Indonesia terbilang tinggi dengan lebih dari seperenam anak perempuan menikah sebelum mencapai usia dewasa (usia 18 tahun). Yakni sekitar 340,000 anak perempuan setiap tahunnya yang menikah dini.

Laporan itu juga mengungkap bahwa meskipun perkawinan anak perempuan di bawah usia 15 tahun telah menurun, tetapi prevalensi anak perempuan usia 16 dan 17 tahun masih mengalami peningkatan secara terus-menerus. Ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap anak-anak perempuan menurun ketika mereka mencapai usia 16 tahun.

Perlu dicatat pula bahwa perkawinan anak di bawah usia 15 tahun mungkin tidak mencerminkan prevalensi sesungguhnya karena banyak dari perkawinan ini yang tersamarkan sebagai perkawinan anak perempuan di atas usia 16 tahun atau tidak terdaftar.

Pelajaran Bagi Orangtua

Terkait hal ini, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Rita Pranawati mengaku sangat prihatin atas adanya fenomena pernikahan anak yang terjadi di Madiun, yang sangat mungkin juga terjadi di seluruh Indonesia.

Dia mengatakan, semestinya perkawinan bertujuan untuk kemaslahatan bukan karena situasi di luar itu apalagi kehamilan yang tidak diinginkan. Hal ini menurutnya menjadi pelajaran bagi setiap orangtua, karena semestinya orangtua mencegah terjadinya perkawinan anak. Hal tersebut diatur dalam undang-undang perlindungan anak.

Namun karena sudah terjadi, maka yang harus dilakukan selanjutnya adalah memastikan bahwa anak yang menikah tetap mendapatkan hak-haknya sebagai anak. Baik itu hak pendidikan, maupun pendampingan dari orangtua, keluarga, dan pemerintah.

“Harus dipastikan anak tetap bisa terus sekolah agar kemiskinan tidak berulang. Anak harus tetap mendapatkan hak pendidikan, apakah cuti dulu, atau kejar paket. Anak juga harus mendapatkan pendampingan secara psikologis,” tegas Rita.

Menurut dia pendampingan terhadap anak yang menikah harus dilakukan mengingat perlunya pemahaman menjalani kehidupan berkeluarga. Terlebih seorang yang semestinya menjalani kehidupan sebagai anak yang diisi dengan bermain belajar harus berhadapan dengan situasi baru sebagai orangtua yang mengasuh anak.

Pendampingan perlu dilakukan agar anak memiliki bekal psikologis, tidak terjadi kekerasan dalam rumah tangga, dan perceraian. Hal seperti itu sangat mungkin terjadi berulang dan anak yang lahir di tengah situasi tersebut pun dapat kembali menjadi korban.

“Karena sudah terjadi (seharusnya) diupayakan perbaikannya-perbaikannya,” kata Rita.

Ia menambahkan, agar persitiwa serupa tidak terulang, orangtua di rumah memiliki peranan penting dalam pola pengasuhan terhadap anak. Menurutnya orangtua harus melakukan  edukasi terkait kesehatan reproduksi. Kemudian melakukan pengawasan terhadap pergaulan anak.

“Karena sebagian besar anak tidak menerima edukasi terkait kesehatan reproduksi dari orangtuanya. Sehingga kemudian terjadinya kehamilan tidak diinginkan itu,” tandasnya.

Exit mobile version