Persoalan amat substansial yang menjadi kendala terbesar bagi kemajuan bangsa ini adalah korupsi. Singapura yang luasnya sama dengan DKI Jakarta bisa menjadi negara maju dan disegani bukan hanya karena sosok mendiang Lee Kuan Yew yang menjadi perdana menteri pada 1959-1990. Tapi, itu karena mantan advokat lulusan Universitas Cambridge tersebut mampu menegakkan hukum dan disiplin (law and order) sehingga korupsi bisa dicegah dan diberantas.
Sementara itu, Indonesia di bawah sahabat Lee, yakni Soeharto yang berkuasa pada 1967-1998, justru menyuburkan korupsi. Hal ini terus terjadi hingga negeri ini sukar maju.
Indonesia pasca Soeharto yang lengser pada 21 Mei 1998 memiliki harapan korupsi bisa diberantas lewat pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 29 Desember 2003 pada era Presiden Megawati. Tapi, justru pada era Presiden Jokowi, yang didukung partai yang dipimpin Megawati, KPK sekarang sedang menghadapi ajal.
Menyoal Bahasa Ahok
Hal yang menambah runyam keadaan, sebagian elite dan rakyat negeri ini suka menggeser masalah substansial, seperti korupsi, menjadi masalah artifisial atau pinggiran. Akibatnya, topik awal dan utama, yakni perjuangan Ahok melawan korupsi, bergeser ke topik lain.
Sebagai contoh, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, menengarai ada dana siluman senilai Rp 12 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) DKI Jakarta tahun 2015. Anehnya, publik kini justru lebih menyoroti masalah etika berkomunikasi Ahok atau gaya bahasanya.
Bahasa Ahok dikategorikan sebagai “bahasa toilet”. Ketua Komisi I DPR, Mahfuz Sidik, bahkan menyampaikan surat terbuka. Isinya menyesalkan bahasa Ahok yang dinilai sangat berbahaya bagi anak-anak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga meminta menteri dalam negeri (mendagri) menegur Ahok. KPAI menilai, dialog yang menampilkan kata-kata kotor oleh Ahok sangat buruk dan tidak pantas disampaikan pejabat publik.
Terkait hal ini, silakan KPAI juga menegur wali kota, DPR, dan aparat hukum di Surabaya yang suka melontarkan kata “dancuk atan jancuk”, kata khas Surabaya yang berarti hubungan intim. Di Surabaya, siapa pun yang sudah akrab satu sama lain biasa menggunakan ini. Lalu, apakah ini sopan?
Hal yang juga kian rumit, kini isunya malah bergeser menjadi masalah suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Ini dipicu surat terbuka Jaya Suprana yang lalu direspons oleh Soe Tjen Marching (“Opini”, SH, 6/4).
Tapi sudahlah, mari kembali ke topik awal tentang perjuangan Ahok melawan korupsi. Masalah korupsi pun terpinggirkan. Padahal, Ahok membeberkan alasannya berkata-kata kasar karena muak dengan kondisi negeri ini yang penuh korupsi dan kemunafikan di segala lini kehidupan, sebagaimana dikatakan Ahok kepada para wartawan di Balai Kota, Jumat (20/3).
Pantas ketika menemukan dana siluman di RAPBD DKI 2015, Ahok langsung terlibat konfrontasi dengan DPRD. Ia pun terancam dilengserkan lewat hak angket.
Selama ini, permainan anggaran memang sudah menjadi kelaziman. Sebab itu, keberanian Ahok membongkar korupsi, yakni permainan anggaran, itu diapresiasi banyak kalangan. Bahkan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Syafii Maarif, siap pasang badan mendukung Ahok.
Ketika dinilai bahasanya tidak santun, di media sosial beredar meme bergambar Ahok dengan jawabannya, “Bagi saya, definisi santun adalah berjuang untuk keadilan sosial buat rakyat, tidak mencuri uang rakyat, itu namanya santun. Kalau cuma ngomongnya doang yang santun, tapi tetap mencuri, itu namanya bajingan atau bangsat.”
Memang idealnya seorang figur publik seperti Ahok, berbahasa santun. Kalau perlu, Ahok belajar etika berkomunikasi di sekolah kepribadian atau berguru kepada Master Cheng Yen, pendiri Yayasan Buddha Tzu Chi, yang dikenal dengan empat nasihatnya tentang berkata-kata.
Pertama, kata-kata yang menyakitkan tidak mudah dilupakan pendengarnya karena merasuk ke hati bukan ke telinga saja. Kedua, orang yang suka bicara kasar hidupnya akan menyasar ke belukar yg bersuasana sukar.
Ketiga, berbicara sopan bisa dilatih. Mulailah berbicara hal-hal yang etis, positif, dan bermanfaat. Keempat, kalau bicara, jangan keras-keras. Selain tak sopan, Anda terkesan tidak berkelas.
Santun, Tapi Korupsi
Ironisnya, di negeri ini sudah terlalu banyak pejabat publik yang bahasanya seperti disarankan Master Chen Yen. Boleh jadi, mereka justru sangat santun, tapi sayang korupsinya minta ampun.
Penulis setuju etika berkomunikasi Ahok perlu dibenahi. Tapi, masalah korupsi yang hendak dilawan Ahok jangan diabaikan.
Memang terkait banyaknya pejabat publik yang santun, tapi korupsinya minta ampun, itu boleh jadi terkait mentalitas munafik, seperti yang pernah diungkapkan Mochtar Lubis. Jadi, jangan lupa, korupsi itu menjadi masalah utama kita. Pemberantasan korupsi atau perlawanan terhadap koruptor, seperti ditunjukkan Ahok. harus digencarkan lagi, tidak boleh berhenti. Ini agar Indonesia bisa segera menjadi negeri yang maju dan rakyatnya sejahtera.