KPAI : Jutaan Anak Alami Masalah Sosial

Negara dan semua pihak terkait harus bekerja lebih keras untuk menyelamatkan anak-anak telantar atau menghadapi berbagai persoalan lain. Sebab, ternyata jumlah anak yang tertimpa masalah pola asuh jumlahnya sangat besar, mencapai 4,1 juta orang.

Fakta tersebut disampaikan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa berdasarkan data Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kemensos. Namun menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohanna Susana Yembise, jumlah anak bermasalah bisa jauh lebih besar karena belum semua terungkap.

Khofifah mengungkapkan, dari 4,1 juta anak bermasalah itu, 5.900 anak menjadi korban kekerasan, 34.000 di antaranya anak jalanan, 3.600 anak berhadapan dengan hukum (ABH). ”Kasus-kasus yang menjadi masalah baru berkaitan dengan pola asuh anak tersebut, mengalami peningkatan dari tahun ke tahun,” ujar Khofifah di Cibubur, Jakarta, kemarin.

Menurut Mensos, tanggung jawab serta perilaku tumbuh kembang anak-anak yang paling utama adalah berada di tangan kedua orang tua dan keluarga besarnya. Adapun pihak kementerian dan lembaga terkait anak berada di BKKBN, Kemendikbud, Kemensos, dan Kemenag.

Kemensos memetakan anak-anak korban tindak kekerasan dengan menggelar Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) PKSA. ”Dinas sosial diminta memetakan di wilayah masing-masing agar bisa terukur, jelas, dan disiapkan berbagai strategi penanganan yang didukung APBD dan bisa disinergiskan dengan APBN,” papar Khofifah.

Yohana mengungkapkan, masih banyak kasus yang tidak terungkap karena ada beberapa kalangan masyarakat yang tidak mau melaporkan kasus perlakukan tidak layak terhadap anak. ”Jika diungkap akan dianggap sebagai aib keluarga, jadi tidak dilaporkan. Apalagi ini biasanya terselubung,” ujarnya kemarin.

Menteri asal Papua ini mengaku banyak kendala yang harus dihadapi dalam melakukan perlindungan terhadap anak. Misalnya terkait koordinasi antara kementerian/lembaga, pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota masih lemah. Dia bahkan menemukan kasus di mana pihak kepolisian masih kurang serius dalam menangani kasus yang menyangkut anak dengan alasan karena masalah keluarga.

”Saya akan berkoordinasi dengan Kapolri agar dibuatkan instruksi supaya kepolisian serius menangani masalah anak,” paparnya. Yohana juga menengarai Tim Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (TP2TP2A) di beberapa daerah belum berjalan maksimal. Bahkan ada di beberapa kabupaten/ kota belum dibentuk TP2TP2A. ”Di Jawa itu ada yang belum punya. Papua belum punya. Belum lagi persoalan kualitas SDM TP2TP2A. Ini akan menjadi concern kita untuk terus ditingkatkan,” ungkapnya.

Selain itu Yohana menekankan perlunya digalakkan sosialisasi UU Perlindungan Anak dengan target sampai ke desa-desa. Lebih jauh dia mengaku tengah mengkaji sanksi dengan mencabut hak asuh. Hal ini dimaksudkan agar ada efek jera bagi orang tua yang memperlakukan anaknya secara tidak layak.

Kasus penelantaran anak menjadi perhatian setelah KPAI dan aparat kepolisian mengevakuasi lima anak yang ditelantarkan kedua orang tua mereka, Utomo Permono dan Nurindria Sari. Bahkan kemudian dalam penggeledahan rumah mereka di Perumahan Citra Gran Cluster Nusa Dua Blok E8 No 37 Cibubur, polisi menemukan paket sabu-sabu seberat 0,58 gram.

Atas penelantaran tersebut, pasangan suami istri tersebut dijerat pasal 76 (b) dan Pasal 77 (b) Undang-Undang Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. Kelima anak tersebut, yaitu Laras dan kembarannya, Cika, 10; Dani, 8; Alin, 5; serta Dina, 4, kini ditempatkan di SOS Childrens Village, Jakarta Timur.

Di tempat terpisah, anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Desy Ratnasari mengatakan, kasus penelantaran anak tersebut menjadi momentum bagi DPR untuk menyempurnakan produk undang-undang terkait perlindungan anak agar dijalankan pemerintah sekaligus mengevaluasi kinerja lembaga negara yang membidangi perlindungan terhadap anak, seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, juga KPAI.

Menurut Desy, berdasarkan pantauannya dalam kunjungan kerja di daerah, masalah anak semakin kompleks lantaran minimnya pos-pos perlindungan anak yang berfungsi memberikan pengawasan dan deteksi dini terhadap masalah anak. Akibatnya, banyak kasus penelantaran dan kekerasan anak yang tidak terdeteksi dan terlaporkan.

Masyarakat masih kebingungan, ke mana mereka harus mengadu atau melapor jika di lingkungan mereka terjadi penelantaran atau kekerasan terhadap anak. Untuk itu, menurut Desy, pemerintah daerah harus partisipatif dengan membentuk lembaga perlindungan anak Indonesia daerah dan membangun rumah singgah (safe house).

”Pemerintah juga bisa memfungsikan posyandu selain mendeteksi gizi buruk, juga mendeteksi kondisi psikososial anak. Di sekolah, peran guru bimbingan dan konseling (BK) bisa dimaksimalkan sebagai tempat curhat anak. Pelatihan parenting bagi calon pengantin juga berperan untuk menjamin kesiapan orang tua dalam mengasuh anak,” ungkap Desy.

Menurut pemerhati masalah anak, Seto Mulyadi, perlindungan anak tidak bisa dilakukan hanya oleh internal keluarga, masyarakat memiliki peran yang sama dalam memberikan perlindungan anak di lingkungan mereka. Masyarakat juga mesti proaktif melaporkan setiap bentuk pelanggaran terhadap hak anak kepada aparat setempat.

”Dalam undang-undang, barang siapa yang tahu ada tindak kekerasan terhadap anak tapi dibiarkan, akan diancam pidana lima tahun. Melindungi anak perlu satu kampung. Peran seperti KPAI bisa dibangun sampai tingkat RT dan RW,” katanya.

Tersangka Narkoba

Penyidik Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya resmi menetapkan Utomo Permono dan Nurindria Sari sebagai tersangka atas kepemilikan sabu-sabu seberat 0,85 gram yang ditemukan di rumahnya. ”Berdasarkan hasil gelar perkara, keduanya cukup unsur untuk ditingkatkan statusnya sebagai tersangka atas penggunaan dan kepemilikan sabu seberat 0,85 gram,” ungkap Direktur Narkoba Polda Metro Jaya Kombes Pol Eko Daniyanto kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Jakarta, kemarin.

Penetapan tersangka dilakukan pada Minggu (18/5) malam. Setelah ditetapkan keduanya langsung ditahan di Rutan Narkoba Polda Metro Jaya. Dari hasil pemeriksaan keduanya mengakui memiliki barang tersebut dan memakainya. Selain berdasarkan pengakuan, mereka juga terbukti positif mengonsumsi narkotika.

Pemeriksaan urine dilakukan pada Jumat (15/5) malam oleh Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda Metro Jaya. Atas kepemilikan sabu-sabu tersebut keduanya dijerat Pasal 112 dan 114 subsider Pasal 132 UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika dengan ancaman maksimal tujuh tahun penjara. ”Untuk legalitas formal, keduanya juga akan dites kembali urine dan darahnya di Puslabfor Mabes Polri,” ujarnya.

Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda Metro Jaya Kombes Pol Musyafak mengungkapkan, polisi melakukan tes urine terhadap keduanya dengan menguji enam jenis kandungan zat tertentu, yaitu methampetamine, ampethamine, benzoat, morfin, dan ganja. ”Tetapi hanya dua yang positif, yaitu methampetamine dan ampethamine,” katanya.

Adapun Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya Kombes Pol Heru Pranoto menegaskan, penjeratan pelaku dengan UU Nomor 35/2009 tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika tidak menggugurkan pengenaan undang-undang sebelumnya, yaitu UU Nomor 23/ 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Sampai saat ini, kata Heru, belum ada penetapan tersangka terhadap kedua pelaku penelantar. Menurut dia, polisi enggan tergesa-gesa dalam menetapkan tersangka karena mengedepankan prinsip kehati-hatian. Di samping itu, dalam penetapan tersangka itu polisi akan menggunakan standar minimal tiga alat bukti, meskipun dalam KUHAP disebutkan cukup menggunakan dua alat bukti untuk menetapkan tersangka.

Menurut Heru, penyidik baru memegang satu alat bukti dalam dugaan kasus penelantaran dan kekerasan terhadap anak berupa keterangan dari sejumlah saksi. Untuk melengkapi alat bukti, polisi masih menunggu hasil pemeriksaan terhadap kondisi fisik dan kejiwaan anak untuk memastikan kelima anak tersebut mengalami kekerasan atau tidak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). ”Jika terbukti dan ditetapkan sebagai tersangka akan ada pemeriksaan kejiwaan oleh psikiater terhadap keduanya,” katanya.

Penyidik Polda Metro Jaya sampai saat ini telah memeriksa 11 saksi yang terdiri atas warga setempat dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai pihak pelapor. Dilain sisi, dalam proses penggalian keterangan terhadap anak nanti, mereka akan didampingi psikolog untuk mendapatkan keterangan yang objektif dari sang anak.

Exit mobile version