KPAI : Kasus Bullying dan Pendidikan Karakter

Saat ini publik tengah dihebohkan dengan beredarnya video kekerasan sejumlah siswa di salah satu Sekolah Dasar Swasta di Kota Bukittinggi Sumatera Barat. Dalam video yang diunggah di jejaring youtube tersebut- tampak seorang siswi berpakaian seragam SD dan berjilbab- berdiri di pojok ruangan. Sementara beberapa siswa termasuk siswi lainnya- secara bergantian melakukan pemukulan dan tendangan. Sang siswi yang menjadi obyek kekerasan tersebut tampak tidak berdaya/pasrah dan menangis- menerima perlakuan kasar teman-temannya itu. Tampak pula adegan tendangan salah seorang siswa yang dilakukan sambil melompat bak aktor laga. Di sela-sela penyiksaan, ada juga siswa yang tertawa-tawa sambil menghadap kamera dan terdengar pula ungkapan dalam bahasa minang yang meminta agar aksi tersebut dihentikan

Beredarnya video kekerasan tersebut sontak memunculkan respons negatif publik. Rata-rata publik menyatakan kekesalan/keprihatinan terhadap aksi kekerasan yang terjadi dan juga mempersoalkan peredaran tayangan tersebut di media sosial. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta Bareskrim Polri dibantu Kementerian Komunikasi dan Informatika menangkap pengunggah dan penyebar video kekerasan itu. Pihak KPAI berpendapat bahwa video kekerasan tidak boleh di-upload di media publik, seperti youtube, karena dapat ditiru oleh anak-anak (Kompas.com, Senin 13 oktober 2014). Sementara itu, ada juga pihak yang mempertanyakan lemahnya kontrol pihak sekolah sehingga tindakan kekerasan tersebut bisa terjadi di lingkungan sekolah. Mereka juga meminta agar pihak sekolah diberi sanksi yang tegas atas kejadian ini oleh institusi yang bertanggung jawab (baca: dinas pendidikan) setempat

Apa yang kita saksikan di youtube tersebut sejatinya merupakan salah satu bentuk bullying yang terjadi di ranah pendidikan. Kita khawatir bahwa kejadian tersebut laksana fenomena gunung es- dimana yang muncul dan mencuat ke ruang publik hanya sedikit dan diduga masih banyak kasus lain yang hingga kini belum terekspos. Kasus yang terjadi di Bukittinggi tersebut mencuat akibat ada pihak yang merekam dan kemudian mengunggahnya ke media sosial. Menurut KPAI, saat ini- kasus bullying menduduki peringkat teratas pengaduan masyarakat. Dari 2011 hingga agustus 2014, KPAI mencatat 369 pengaduan terkait masalah tersebut. Jumlah itu sekitar 25% dari total pengaduan di bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus. Bullying yang disebut KPAI sebagai bentuk kekerasan di sekolah, mengalahkan tawuran pelajar, diskriminasi pendidikan, ataupun aduan pungutan liar (republika, rabu 15 oktober 2014)

Lalu, apa yang dimaksud dengan bullying?. Menurut psikolog Andrew Mellor, bullying adalah pengalaman yang terjadi ketika seseorang merasa teraniaya oleh tindakan orang lain dan ia takut apabila perilaku buruk tersebut akan terjadi lagi sedangkan korban merasa tidak berdaya untuk mencegahnya. Bullying tidak lepas dari adanya kesenjangan power/kekuatan antara korban dan pelaku serta diikuti pola repetisi (pengulangan perilaku). Lebih lanjut, Andrew Mellor menjelaskan bahwa ada beberapa jenis bullying, yakni: (1) bullying fisik, yaitu jenis bullying yang melibatkan kontak fisik antara pelaku dan korban. Perilaku yang termasuk, antara lain: memukul, menendang, meludahi, mendorong, mencekik, melukai menggunakan benda, memaksa korban melakukan aktivitas fisik tertentu, menjambak, merusak benda milik korban, dan lain-lain. Bullying fisik adalah jenis yang paling tampak dan mudah untuk diidentifikasi dibandingkan bullying jenis lainnya; (2) bullying verbal melibatkan bahasa verbal yang bertujuan menyakiti hati seseorang. Perilaku yang termasuk, antara lain: mengejek, memberi nama julukan yang tidak pantas, memfitnah, pernyataan seksual yang melecehkan, meneror, dan lain-lain. Kasus bullying verbal termasuk jenis bullying yang sering terjadi dalam keseharian namun seringkali tidak disadari; (3) bullying relasi sosial adalah jenis bullying bertujuan menolak dan memutus relasi sosial korban dengan orang lain, meliputi pelemahan harga diri korban secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan atau penghindaran. Contoh bullying sosial antara lain: menyebarkan rumor, mempermalukan seseorang di depan umum, menghasut untuk menjauhi seseorang, menertawakan, menghancurkan reputasi seseorang, menggunakan bahasa tubuh yang merendahkan, mengakhiri hubungan tanpa alasan, dan lain-lain; (4) bullying elektronik merupakan merupakan bentuk perilaku bullying yang dilakukan melalui media elektronik seperti komputer, handphone, internet, website, chatting room, e-mail, SMS, dan lain-lain. Perilaku yang termasuk antara lain menggunakan tulisan, gambar dan video yang bertujuan untuk mengintimidasi, menakuti, dan menyakiti korban. Contoh cyber bullying yaitu bullying lewat internet

Merujuk pada penjelasan Andrew Mellor tersebut, kasus kekerasan lingkungan pendidikan sebagaimana yang terjadi saat ini merupakan bentuk bullying fisik dan ini termasuk persoalan serius dan membahayakan, tidak hanya terhadap korban- tetapi juga pelaku dan saksi. Dampak bullying, sebagaimana menurut Victorian Departement of Education and Early Chilhood Development dapat terjadi pada: (1) pelaku, bullying yang terjadi pada tingkat SD dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan pada jenjang pendidikan berikutnya; pelaku cenderung berperilaku agresif dan terlibat dalam gank serta aktivitas kenakalan lainnya; pelaku rentan terlibat dalam kasus kriminal saat menginjak usia remaja; (2) korban, memiliki masalah emosi, akademik, dan perilaku jangka panjang, cenderung memiliki harga diri yang rendah, lebih merasa tertekan, suka menyendiri, cemas, dan tidak aman, bullying menimbulkan berbagai masalah yang berhubungan dengan sekolah seperti tidak suka terhadap sekolah, membolos, dan drop out; (3) Saksi, mengalami perasaan yang tidak menyenangkan dan mengalami tekanan psikologis yang berat, merasa terancam dan ketakutan akan menjadi korban selanjutnya, dapat mengalami prestasi yang rendah di kelas karena perhatian masih terfokus pada bagaimana cara menghindari menjadi target bullying dari pada tugas akademik

Setelah mencuatnya kasus bullying di dunia pendidikan dasar tersebut, lalu what next? Ini menjadi pertanyaan penting- karena biasanya ketika sebuah kasus muncul dan menjadi opini dimana-mana- orang lantas sibuk membahasnya dalam talkshow, diskusi, seminar, dan kegiatan formal lainnya- dan lebih fokus pada upaya penyembuhan (kuratif) secara instan. Padahal aktifitas bullying bukanlah muncul secara tiba-tiba, melainkan ada proses panjang yang melatarbelakanginya- sehingga perlu penanganan yang komprehensif- tentunya dengan pendekatan holistik. Terhadap kasus ini, penulis lebih memilih untuk mengedepankan aspek preventif, yakni melalui media ‘pendidikan karakter’. Selama beberapa tahun terakhir, pendidikan karakter memang sempat menjadi isu utama dalam dunia pendidikan kita dan sudah ditekankan dalam kurikulum 2013. Namun harus diakui, implementasinya di lapangan masih cukup lemah. Internalisasi nilai-nilai karakter yang semestinya dimiliki oleh anak-anak bangsa- masih bersifat parsial. Karena itu- dengan kejadian ini, mau tidak mau pemerintah harus lebih serius lagi menata sistem pendidikan karakter di lingkungan pendidikan, agar kita dapat melakukan deteksi dini dan pencegahan terhadap kasus tersebut di kemudian hari

Menurut seorang praktisi pendidikan, Prof Suyanto Ph.D- karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Sedangkan Pendidikan Karakter merupakan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan seluruh warga sekolah untuk memberikan keputusan baik-buruk, keteladanan, memelihara apa yang baik & mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal 1 Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.

Adapun item-item yang menjadi indikator kualitas karakter- menurut Ratna Megawangi (2003), meliputi 9 (sembilan) pilar, yaitu (1) cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2) tanggung jawab, disiplin dan mandiri; (3) jujur/amanah dan arif; (4) hormat dan santun; (5) dermawan, suka menolong, dan gotong-royong; (6) percaya diri, kreatif dan pekerja keras; (7) kepemimpinan dan adil; (8) baik dan rendah hati; (9) toleran, cinta damai dan kesatuan. Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan. Jadi, menurut Ratna Megawangi, orang yang memiliki karakter baik adalah orang yang memiliki kesembilan pilar karakter tersebut

Siapa yang bertanggung jawab dalam pendidikan karakter ini? Kurang bijak rasanya jika persoalan yang sangat penting ini- sepenuhnya diserahkan kepada pihak sekolah dan juga pemerintah. Peran orang tua dalam institusi kecil bernama keluarga- menurut hemat penulis adalah faktor kunci terhadap pendidikan karakter anak-anak kita. Orang tua tidak boleh melepaskan begitu saja dari tanggung jawab berat ini. Bagaimanapun, komunikasi dan pola didik orang tua akan sangat berpengaruh terhadap kejiwaan dan masa depan anak. Karena itu, Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak dan sekali lagi- peran orang tua menjadi kuncinya

Setelah mendapatkan nilai-nilai dasar tentang karakter dari lingkungan keluarga, barulah kemudian masuk pada peran institusi pendidikan (baca: sekolah), terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru menjadi sangat penting. Ia menjadi role model bagi anak-anak dalam bersikap dan berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam fase ini, metode belajar sambil bermain dengan suasana yang menyenangkan akan memberikan dampak positif terhadap perkembangan emosi anak. Faktor kecerdasan emosi anak ini haruslah menjadi titik tekan untuk dibangun secara intens dan serius- karena ia akan memiliki korelasi dengan kesuksesan anak. Menurut Daniel Goleman, keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi (EQ), dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Sementara, Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.

Disamping peran orang tua dan institusi pendidikan, faktor dukungan dari pemerintah juga penting melalui kebijakan, regulasi, dan anggaran untuk menjadikan pendidikan karakter ini sebagai salah satu program unggulan. Pendidikan karakter diyakini akan mampu menumbuhkan semangat kebersamaan, disiplin, saling menghormati/menghargai, budaya malu, tanggung jawab, dan nasionalisme. Nilai-nilai itulah yang saat ini kita perlukan sebagai bangsa. Sejarah mencatat bahwa kemajuan dan keunggulan suatu bangsa bukan ditentukan oleh faktor kekayaan sumber daya alam (SDA)- tetapi lebih pada aspek sumber daya manusia (SDM) yang memiliki karakter kuat. Bangsa-bangsa yang hari ini menunjukkan kemajuan yang cukup pesat, seperti: Jepang, Cina, dan Korea- ternyata sudah mengimplementasikan pendidikan karakter secara sistematis sejak mulai pendidikan dasar dan itu sangat berdampak positif- tidak hanya terhadap pencapaian akademis individu tetapi juga kemajuan bangsanya secara umum

Semoga melalui pendidikan karakter ini akan terbangun fondasi yang kuat pada diri anak-anak bangsa, sehingga kasus-kasus bullying dan kekerasan lainnya tidak akan terjadi lagi di dunia pendidikan kita. Tidak perlu saling menyalahkan dan intinya semua pihak harus bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman, nyaman, bersahabat, dan menyenangkan bagi anak. Dengan pendidikan karakter yang kuat, semoga bangsa kita akan terhindar dari ‘malapetaka moral’- sebagaimana yang dilansir oleh sejarawan ternama Arnold Toynbee, ‘Dari dua puluh satu peradaban dunia yang dapat dicatat, sembilan belas hancur bukan karena penaklukan dari luar, melainkan karena pembusukan moral dari dalam alias karena lemahnya karakter. Atau pendapat Thomas Lickona- ahli psikologi perkembangan dan pendidik dari Cortland University AS- yang mengungkapkan sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai, karena jika tanda-tanda ini terdapat dalam suatu bangsa, berarti bangsa tersebut sedang berada di tebing jurang kehancuran. Tanda-tanda tersebut di antaranya: Pertama, Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja. Kedua, Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk. Ketiga, Pengaruh peergroup yang kuat dalam tindak kekerasan. Keempat, Meningkatnya perilaku yang merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan perilaku seks bebas. Kelima, Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk. Keenam, Menurunnya etos kerja. Ketujuh, Semakin rendahnya rasa hormat pada orangtua dan guru.Kedelapan, Rendahnya rasa tanggungjawab individu dan warga negara. Kesembilan, Membudayanya ketidakjujuran. Dan kesepuluh, Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.

Exit mobile version