KPAI : Komisi VIII DPR, Tak Ada Tempat Aman Bagi Anak-anak

Kasus kekerasan anak yang terjadi pada Angeline, bocah berusia delapan tahun yang ditemukan terkubur di halaman rumahnya sendiri, menjadi perhatian luas berbagai kalangan.

Salah satunya datang dari anggota Komisi VIII DPR RI, Maman Imanulhaq, yang merasa kasus Angeline merupakan sebuah tragedi kemanusiaan dan tamparan bagi masyarakat Indonesia.

“Tidak ada tempat aman untuk anak-anak, baik di rumah maupun sekolah,” ujar Maman saat ditemui dalam diskusi “Angeline Wajah Kita” di Jakarta, Sabtu (13/6).

Rumah, lanjut Maman, bahkan malah menjadi tempat yang tidak aman bagi anak. “Tapi ini merupakan momen penting untuk meningkatkan kualitas perlindungan anak,” katanya.

Tak hanya itu, Maman juga mempertanyakan peran pemerintah dalam memperhatikan kasus-kasus kekerasan anak yang mungkin tidak terekspose ke publik.

“Di mana peran negara? Ini yang kita khawatirkan. Jarang ada tema perlindungan anak. Mungkin banyak Angelina lain yang belum terungkap,” katanya.

Lebih lanjut, Maman berpendapat seharusnya ada revisi regulasi perlindungan anak, seperti bagaimana cara adopsi yang baik dan agar anak-anak mereka tak lagi jadi korban kekerasan.

Menanggapi pernyataan Maman, Asisten Deputi bidang Anak Berhadapan dengan Hukum Kementerian PPA, Ali Khasan mengatakan pemerintah telah melakukan revisi atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Hasil revisinya menjadi UU Nomor 35 Tahun 2014. “Dalam UU tersebut, jelas ditekankan pentingnya memberikan perlindungan terhadap anak. Dalam UU itu diatur bahwa pembunuh anak dikenai hukuman paling lama 15 tahun atau denda Rp 3 miliar. Kalau orang dekat yang melakukan, lama hukuman ditambah sepertiganya,” katanya.

Perlindungan anak, menurut Ali, bukan cuma tugas pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah. “Kami butuh kerja sama dengan semua pihak, baik itu dari pemda, pelaku dunia usaha, masyarakat umum, hingga media massa,” katanya.

Adapun, Angeline merupakan anak angkat dari Margriet Megawe dan mendiang suaminya, yang merupakan seorang pengusaha asal Amerika Serikat. Pasangan tersebut telah memiliki dua anak kandung perempuan, sebelum memutuskan untuk mengadopsi Angeline. Orang tua kandung Angeline sendiri, menyerahkan putri mereka tersebut kepada pasangan Magawe karena alasan kesulitan finansial.

Hak anak belum dihormati

Selain itu, Maman juga merasa hak-hak anak di Indonesia saat ini masih belum terlalu diperhatikan. “Kehadiran anak di tengah keluarga dan negara belum dihormati hak-haknya,” ujar Maman.

“Untuk apa melahirkan anak anak jika (akhirnya) dibunuh, dimasukkan ke sekolah jika mengalami kekerasan. Padahal anak-anak merupakan indikator pembangunan bangsa.”

Hal itulah yang membuat Maman merasa regulasi yang ada saat ini belum dipahami betul oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan Kementerian Sosial (Kemensos). (Baca: Tragedi Angeline, Pemerintah Dinilai Belum Berpihak pada Anak)

“Sekarang (program) anak hanya dijadikan proyek. Reaktif semua bukan proaktif. Kita perlu sistem proaktif melindungi anak anak indonesia,” ujar Maman menambahkan.

Sementara itu, Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda meminta agar pemerintah bisa lebih serius melakukan perlindungan terhadap anak. Ia menilai isu perlindungan anak masih dikesampingkan selama ini oleh pemerintah.

“Padahal perlindungan anak adalah isu yang sangat krusial mengingat Bali termasuk salah satu tempat sindikat pedofil terbesar di Indonesia,” katanya. Bukan hanya itu, berdasarkan data KPAI per 2014, Bali juga masuk dalam 10 besar tempat dengan kasus perdagangan manusia tertinggi.

Exit mobile version