Jakarta, – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta Yayasan BaKTI menggelar Forum Group Discussion (FGD) untuk membahas penyusunan pedoman restitusi bagi anak korban eksploitasi dan kekerasan seksual, pada senin hingga selasa, 21-22 Oktober 2025, di Jakarta.
Kegiatan ini menjadi langkah penting dalam memperkuat pemulihan hak anak yang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). FGD ini juga mendukung penyusunan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2025 tentang Dana Bantuan Korban, yang menjadi dasar hukum baru bagi pemberian restitusi dan bantuan bagi korban tindak pidana.
Anggota KPAI Dian Sasmita menjelaskan bahwa forum ini bertujuan menggali praktik dan tantangan pelaksanaan restitusi di lapangan.
“Masih banyak kendala dalam pelaksanaan restitusi, mulai dari penghitungan kerugian anak, dampak jangka panjang seperti kehamilan akibat kekerasan, hingga penderitaan psikologis yang sulit diukur. Kita harus memastikan tidak ada anak korban kekerasan yang haknya terabaikan,” kata Dian.
Ia menambahkan bahwa kekerasan terhadap anak kini semakin kompleks tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga nonfisik dan berbasis elektronik, sehingga membutuhkan pandangan lintas disiplin dari berbagai ahli. FGD ini menghadirkan pakar psikologi forensik, kriminologi, kesehatan, hingga digital forensik untuk membahas kompleksitas penghitungan kerugian anak korban.
Sementara itu, Wakil Ketua LPSK Sri Nurherwati menegaskan bahwa restitusi adalah hak konstitusional korban, bukan sekadar kewajiban pelaku.
“LPSK telah lama menghitung restitusi bahkan sebelum lahirnya UU TPKS, namun masih ditemukan kesenjangan dalam menentukan nilai dan bentuk kerugian yang dialami anak,” ujar Sri.
Ia berharap pedoman yang disusun dapat memperkuat implementasi restitusi dalam berbagai kasus kekerasan terhadap anak.
Berbagai pakar dalam forum ini menyoroti dampak biologis, psikologis, dan sosial jangka panjang akibat kekerasan terhadap anak. Mereka menekankan pentingnya memasukkan dukungan pemulihan mental dan sosial sebagai bagian integral dari restitusi. Dari sisi hukum, restitusi ditegaskan sebagai hak korban tanpa batas waktu kadaluarsa. Sementara itu, pakar psikologi forensik dan disabilitas mengingatkan pentingnya pengukuran penderitaan immaterial serta perhatian khusus bagi anak dengan disabilitas.
Anggota KPAI Ai Maryati Solihah menambahkan bahwa restitusi harus menempatkan kepentingan korban sebagai pusat.
“Restitusi harus berfokus pada pemulihan korban, bukan sebagai hukuman tambahan bagi pelaku dan mengingatkan pentingnya memperhitungkan hak anak yang tidak bisa diukur secara materil, seperti hak bermain dan berpartisipasi,” ujar KPAI Ai Maryati Solihah
FGD ini diharapkan dapat menghasilkan pedoman restitusi yang komprehensif, terukur, dan dapat diterapkan secara nyata untuk memastikan setiap anak korban kekerasan dan eksploitasi memperoleh haknya secara adil. Selain itu, FGD ini juga memperkuat sinergi antar-lembaga dan serta memperluas pemahaman berbagai pihak tentang pentingnya restitusi sebagai bagian dari pemulihan anak secara menyeluruh – psikologis, sosial, hukum. (Ed:Kn)













































