KPAI : Masalah Ponografi Anak Terus Meningkat

Kemajuan teknologi memudahkan setiap orang untuk memperoleh informasi dengan cepat dan biaya murah. Namun, tidak semua dapat mengunakan dengan baik. Terkadang teknologi tidak digunakan sesuai fungsi, yang menyebabkan angka kekerasan dan pornografi online mengalami peningkatan, khususnya pada anak.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sejak tahun 2011-2014, sebanyak 1.022 kasus, di mana rata- rata setiap tahun kekerasan terhadap anak sekitar 350-an kasus, di mana 20 persen di antaranya adalah korban pornografi online. Anak-anak ini menjadi korban pornografi akibat penyalahgunaan internet.

Menurut Wakil Ketua KPAI bidang kejahatan internet, Maria Advianti, ada 24 persen anak Indonesia yang memiliki materi pornografi. Rata- rata anak-anak ini berusia 13-17 tahun. Jika tidak dikendalikan akan berdampak lebih luas. Sebab, internet muda diakses di mana seja. Seharusnya, pemerintah membuat kebijakan pemblokiran situs pornografi di sekitar area sekolah seperti yang diterapkan oleh Institut Teknologi Bandung ( ITB).

“Pembelokiran merupakan sistem pengawasan di area sekolah sebagai bentuk pencegahan, selain dengan melakukan sosialisasi bahaya yang akan diterima akibat salah fungsi,” kata Maria kepada Suara Pembaruan, Selasa (17/2).

KPAI mengharapkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ( Kemdikbud) mengeluarkan kebijakan tentang penggunaan internet di sekolah. Melalui penerapan dalam kurikulum tentang baik dan buruk internet.

Maria menekankan agar siswa diberi pemahaman akan bahaya apabila nekad memiliki dan membuka situs pornografi. “Kami mendorong agar Mendikbud menetapkan pemahaman akan internet dalam kurikulum. Seperti yag dikhawatirkan bila akses internet tidak terbendung, akan berdampak negatif di aspek lain,” jelasnya.

Pemerhati pendidikan dan anak-anak, Seto Mulyadi menilai, selain pemerintah, masalah ini dipicu oleh lemahnya kontrol dari orang tua. Dikatakan, anak diberikan kebebasan memiliki fasilitas penunjang belajar tanpa ada pengawasan penuh. Fasilitas tersebut terdapat dalam kamar seperti laptop, komputer, dan handphone atau smartphone.

Ia menilai pembentukan Direktorat Keayahbundaan merupakan langkah yang baik untuk orang tua dalam mendidik anak. Sebab selain pendidikan formal dan non formal, peran orang tua dalam mendidik sangat penting. Ia mengaku, selama ini Komnas Anak melihat kurang adanya penghargaan terhadap prestasi nonakdemik di mata guru dan orang tua.

“Ini termasuk sebuah kesalahan. Apabila orang tua tidak mengontrol dengan baik, ” katanya.

Ia mengakui Komnas Anak sendiri telah berupaya dengan melakukan pelatihan dan kempanye pada orang tua dan guru akan bahaya internet, namun kenyataan yang ada, kejahatan tetap meningkat.

Menanggapi masalah tersebut, Komisi Nasional pendidikan, Andreas Tambah mengatakan, ketertarikan pada internet disebabkan kurangnya ruang publik. Pemerintah hanya menyediakan ruang belajar seperti kegiatan dan kompetensi pada pendidikan formal meliputi olimpiade sains dan yang lainnya.

“Orang tua dan pemerintah lupa akan ruang hiburan nyata pada siswa, karena keterbatasan mereka lebih fokus pada dunia cyber yang menempatkan mereka salah sasaran,” Andreas.

Exit mobile version