KPAI : Mengapa Pendidikan Tinggi Tak Jamin Paham Cara Mengasuh Anak

Pada Kamis (14/5) lalu terungkap sebuah kasus penelantaran anak yang dilakukan oleh orang tua kandung. Anak tersebut dibiarkan tinggal di luar rumah dan tidur di pos satpam selama kurang lebih satu bulan.

Setelah pihak kepolisian bersama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendatangi rumah anak tersebut untuk menemui orang tuanya, hal yang lebih mengejutkan terungkap. Ternyata tidak hanya D (8) yang ditelantarkan. Keempat saudaranya pun bernasib sama.

Yang mengejutkan lagi, ternyata orang tua pelaku kekerasan tersebut memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi. Keluarga mereka pun tergolong berkecukupan terbukti dari adanya dua buah mobil mewah yang terparkir di halaman rumahnya.

“Istrinya berpendidikan, suaminya juga berpendidikan. Berarti ini bisa menjadi tesis bahwa tingkat pendidikan juga tidak in line dengan perspektif pengasuhan anak,” kata Komisioner KPAI, Susanto di Kantor KPAI, Jakarta, Jumat (15/5).

Menurut Susanto, kedua orang tua yang menelantarkan kelima anaknya itu melakukan hal tersebut sebagai sebuah bentuk hukuman.

“Kami belum menemukan pemicu utama kenapa keluarga korban melakukan tindakan itu. Tapi yang pasti memang dia ingin melakukan suatu bentuk punishment agar mereka menurut kepada orang tua,” ujarnya.

Apapun alasannya, Susanto berdalih bahwa apan yang mereka lakukan bukanlah hal yang benar. Meski dilihat dari sisi manapun.

“Tentu tidak dibenarkan. Dari sisi perlundungan anak tidak dibenarkan, dari sisi pengasuhan juga tidak dibenarkan, dari sisi etika tentu juga tidak dilazimkan,” kata Susanto.

Berdasarkan sebuah survei yang pernah dihimpun KPAI di sembilan provinsi, memang ditemukan pelaku kekerasan terhadap anak yang paling tinggi dilakukan oleh orang tua. “Ternyata memang kekerasan terhadap anak pelaku tertinggi adalah orang tua, kedua teman, kemudian tenaga pendidik,” Susanto menegaskan.

Dari survei tersebut juga ditemukan ada beberapa pemicu mengapa kekerasan pada anak bisa terjadi. Susanto menyebutkan setidaknya ada tiga pemicu utama.

“Pertama perspektif pada anak. Banyak orang tua bahkan guru masyarakat memposisikan anak sebagai miniatur orang dewasa bukan full manusia secara utuh,” kata Susanto.

Maksudnya adalah, idealnya memposisikan anak sebagai manusia utuh yang sedang dalam proses tumbuh kembang. “Maka fasilitasinya pun harus maksimal,” Susanto menambahkan.

Kedua, ditentukan oleh pola asuh. Susanto mengatakan masih banyak orang tua yang menggunakan cara berpikir lama dan tradisi warisan.

“Ini banyak terjadi. Kalau misalnya punisment dengan menggunakan kekerasan yang pernah dilakukan orang tuanya dulu itu sering dicopy-paste sama orang tua,” ucapnya.

Yang ketiga adalah disfungsi keluarga. “Kondisi broken home kondisi yang bermasalah relasinya itu berpotensi juga menimbulkan tindakan kekerasan,” ujar Susanto.

Selain dari itu semua, ternyata juga ada aktor budaya. Faktor budaya yang permisif dengan kekerasan bisa menimbulkan orang melakukan kekerasan atas nama mendidik.

Orang tua menganggap kekerasan sebagai hal yang efektif dan tepat untuk mendidik anak. “Padahal ini kontraproduktif dengan semangat pengasuhan dan perlindungan anak,” ujar Susanto.

Exit mobile version