KPAI Minta Aturan Tegas Soal Pelibatan Anak di Pilkada

JAKARTA – Komisoner KPAI, Maria Ulfah Anshor meminta Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) menindak tegas partai politik yang melibatkan anak dalam pilkada. Bila terus dibiarkan maka dapat menumbuhkan sikap intoleran.

Dalam konferensi acara diskusi bertajuk ‘Darurat Pendidikan Indonesia Atas Menguatnya Permusuhan Berdasarkan Agama’ di Restoran Tjikini 5, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (28/3/2017), Maria berhalangan hadir.

“Kepada KPUD untuk memberikan sanksi kepadad parpol yang melibatkan anak dalam aktivitas politik,” ujar moderator Ilma Sovri Yanti Ilyas membacakan pesan komisioner KPAI, Maria.

Maria menuturkan fenomena yang terjadi di media sosial belakangan ini menujukkan dampak konflik politik dalam pilkada DKI Jakarta terhadap anak-anak.

“Kalau dibiarkan terus, kondisi tersebut menurut saya berbahaya bagi tumbuh kembang anak. Karena telah tertanam benih-benih intoleran dan sikap kebencian sejak dini terhadap sesama warga yang berbeda pilihan, apalagi hal tersebut terjadi pada anak usia SD,” paparnya.

Maria mengaku prihatin baik secara pribadi maupun sebagai komisioner atas fenomena tersebut. Karena itu, guru, orang tua serta masyarakat memiliki tanggung jawab untuk tidak melibatkan anak dalam konflik politik di pilkada atau di mana pun.

“Serta tidak mengajak anak dalam forum-forum politik praktis,” tuturnya.

Maria mengatakan anak-anak seharusnya dapat diajarkan memahami perbedaan, menanamkan nilai-nilai toleran, saling menghormati dan menghargai serta menjaga kebersamaan terhadap sesama warga negara Indonesia apapun agama dan pilihan politiknya.

“Khususnya kepala daerah dan dinas pendidikan untuk memberi peringatan kepada guru-guru yang melibatkan anak-anak dalam politik praktis atau mengajarkan sikap-sikap intoleran,” ujarnya.

Jangan Tumbalkan Anak di Pertarungan Pilkada

Pertarungan pilkada tidak hanya menyeret urusan politik berbangsa negara semata. Namun belakangan tidak sedikit simpatisan maupun pendukung dari pasangan calon melibatkan anak dalam pilkada.

“Anak yang dikondisikan terus menerus, bahkan seharusnya dibuat terbuka berbagai kemungkinan dipersempit, pesan-pesan kebencian. Maka siapapun orang yang melakukan itu, pelaku kebencian yang paling keji. Karena kita menentukan hidup seseorang itu hingga 60 sampai 70 tahun kemudian, bukan pada saat itu saja,” ujar Pusat Kajian Perlindungan Anak (PUSKAPA) UI, Prof Irwanto di lokasi yang sama.

Meski belum ada riset, Irwanto melihat maraknya tulisan tentang politik di media sosial oleh anak-anak. Hal ini dapat melihat pertarungan politik yang mulai mempengaruhi psikologi anak-anak.

“Statistik tidak menjadi relevan lagi, kalau satu, dua anak menjadi korban. Ini harus ditanggapi serius. Kita tidak mau diperdebatkan ini, tetapi dari berbagai pemilu lalu, anak korban fisik dan meninggal itu ada. Jumlahnya kita tidak tahu,” paparnya.

Sementara itu, praktisi anak dari Yayasan Cahaya Guru, Henny Supolo memberikan contoh nyata dampak politik terhadap anak-anak di kehidupan nyata dan media sosial. Ucapan rasis hingga tulisan spanduk telah menimbulkan dampak secara langsung maupun tidak.

“Yang 10 tahun lalu belum dilakukan, tetapi sekarang ada. Saya ada satu cerita nyata di salah satu tempat pasar, di mana ada anak yang menangis karena dihina bapak-bapak ‘kamu Cina, kamu pantas dibunuh’. Cerita ini tidak kita alami dulu, justru cerita cerita ini yang harus kita hapus, kita hapus dengan cerita saksi yang kita lakukan dengan praktik baik,” ujar Henny.

Henny meminta kasus ini dapat menjadi pelajaran penting bagi masyarakat. Terlebih adanya sarana dan prasarana seperti taman bermain terbuka menjadi solusinya.

“Taman itu menjadi satu sarana, di mana anak-anak bisa bermain tanpa melihat perbedaan latar belakang, mereka dapat menemukan pembelajaran dari tengah perbedaan dan keanekaragaman,” pungkasnya.

Exit mobile version