KPAI : Pabrik Mercon Meleduk, Praktik Perbudakan Merebak

Di balik musibah kebakaran pabrik mercon di Kosambi, Kabupaten Tangerang rupanya menyisakan sejumlah masalah. Bukan terkait pemicu kebakarannya namun ternyata pelanggaran berbagai kebijakan yang dilakukan oleh sang pemilik pabrik.

Selain tak menerapkan (K3), rupanya pemilik pabrik juga mempekerjakan anak di bawah umur. Melihat kasus itu ibarat fenomena gunung es.

Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo mengatakan fenomena ini sudah lama berlangsung namun seolah terjadi pembiaran. Dia menilai kejadian kebakaran pabrik petasan di Kosambi hanya segelintir persoalan. Pasalnya, masih banyak lagi industri-industri lain yang mungkin mempekerjakan anak di bawah umur.

Wahyu menilai fenomena ini menunjukan masih lemahnya pengawasan ketenagakerjaan di Indonesia. Padahal dalam tata kelola kebijakan ketenagakerjaan, pengawas ketenagakerjaan itu elemen yang paling vital untuk diperhatikan. Namun sayangnya tak semua industri memiliki itu.

“Saya lihat kebakaran di Kosambi ada dua hal yang luput dari perhatian. Pertama, tidak dilakukan pengawasan ketenagakerjaan pada industri-industri yang berbahaya karena menyangkut bahan yang mudah terbakar. Lalu kedua, penggunaan pekerja anak di dalam industri apapun,” katanya kepada rilis.id, Minggu (29/10/2017).

Tak hanya itu saja, menurut Wahyu kejadian di Kosambi ini juga mengkonfirmasi data global selectary index yang sejak tahun 2014 hingga 2016 Indonesia masuk 10 besar negara-negara yang warga negaranya terjerembap di dalam praktik perbudakan baik di dalam maupun luar negeri.

Salah satu contoh perbudakan yang dicatat tak lain juga mengenai pekerja anak di bawah umur. Selain itu upah yang minim sehingga tak sebanding dengan waktu kerja juga menjadi poin perbudakan tersebut. 

“Salah satu perbudakan ini masih menggunakan anak-anak sebagai pekerja. Nah dalam konteks ini kan mereka berganda perbudakannya dalam industri yang berbahaya dan anak-anak,” ungkapnya.

Untuk itu, Wahyu meminta agar Kementerian Ketenagakerjaan perlu melakukan evaluasi dini ihwal minimnya pengawas ketenagakerjaan. Menurutnya jika dibandingkan dengan jumlah pekerja, aparat pengawas ketenegakerjaan dari pemerintah masih sangat minim. Sehingga wajar bilamana perusahaan menjadi semena-mena melakukan perbudakan.

Selain itu, lanjutnya, problem lain yang terkait terkadang pegawai-pegawai di dinas tenaga kerja tidak memiliki keterampilan khusus mengenai pengawas ketenagakerjaan. Menurutnya baik di pusat maupun daerah problem kelembagaan inspektur pengawasan ketenagakerjaan tidak boleh sembarangan dilakukan oleh orang-orang yang tidak punya keterampilan.

“Pengawas ketenagakerjaan kan perlu ilmu khusus, harus ada sertifikatnya. Nah kalau ketika dia ada di daerah. Misalnya dia awalnya dari dinas tenaga kerja lalu dia dapat promosi atau mutasi ke bidang lain yang saya kira kaitannya tidak terlalu banyak terkait tenaga kerja,” tutupnya.

Di lain pihak, Anggota Komisi IX DPR  dari Fraksi Nasdem, Irma Suryani Chaniago meminta agar Kemenaker ataupun Kepolisian tak hanya mencari pembelaan diri. Sebab faktanya banyak pembiaran terkait pelanggaran yang dilakukan oleh pemilik pabrik tersebut. 

“Kemenakertrans, Polisi, Pemda seharusnya tak hanya membela korps saja dengan mengabaikan kejadian yang sebenarnya. Semua ini hanya mencari pembenaran aja. Harusnya cari jalan keluar dan lakukan perubahan,” katanya kepada rilis.id.

Dari hasil sidak Komisi IX, Irma mengungkapkan banyaknya pelanggaran prosedur mulai dari izin hingga pekerja. Dia juga mencium adanya perbudakan disana. Pasalnya dari keterangan yang didapat bahwa pabrik tersebut mempekerjakan orang dengan jam kerja yang tidak sesuai dengan bayarannya.

“Lalu ditemukan juga di sana tenaga kerjanya 80 persen borongan yang bekerja dari jam 8 sampai jam 5 sore dengan gaji hanya 25 ribu hingga 40 ribu bersih tidak ada uang makan. Jadi ini bukan perbudakan manusia tapi perdzaliman manusia,” tuturnya.

Dia mengatakan Kepolisian dan Pemda setempat mengaku tak tahu menahu alih fungsi dari gudang menjadi pabrik. Padahal menurutnya hal tersebut  seharusnya sudah tercium indikasinya bila Kepolisian dan Pemda setempat melakukan cek fisik.

“Izinnya bukan izin produksi. Pemda tidak salah tapi kita pertanyakan juga. Harusnya nggak kecolongan. Harus cek izin fisik itu dilakukan juga. Pintu daruratnya saja tidak ada. Tidak ada pintu evakuasi. Kalau katanya sudah  sesuai prosedur, prosedur yang mana?” tegas Irma.

Irma pun berharap kejadian ini menjadi pelajaran penting untuk pabrik-pabrik lain untuk menuruti SOP yang berlaku. Lebih lanjut, hasil temuan ini akan dilaporkan ke dalam rapat Komisi IX DPR saat mulai masa sidang berikutnya.

Sementara itu, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto menegaskan pihaknya tak akan tinggal diam. Dia mengaku akan mendorong adanya sanksi bagi pemilik pabrik yang telah mempekerjakan anak di bawah umur.

“Kami sedang mendalami kasus ini. Sudah ada tim yang akan mengusut. Menurut UU Ketenagakerjaan pemilik bisa dipidana 5 tahun karena telah mempekerjakan anak untuk pekerjaan terburuk atau berbahaya,” kata dia.

Untuk diketahui, adanya pekerja di bawah umur di pabrik petasan baru diketahui pasca kebakaran. Salah satu korban bernama Siti Fatimah merupakan remaja berusia 15 tahun yang masih menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Serta ada pula korban meninggal bernama Surnah yang baru berusia 14 tahun.

Exit mobile version