KPAI : Pemerintah Perlu Tingkatkan Pendidikan Karakter

Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto menyatakan, pemerintah sebagai pemangku kepentingan menerapkan konsep pendidikan berbasis karakter yang diperkenalkan Presiden Joko Widodo semasa kampanye.

Terkait pendidikan karakter, masih perlu diperkuat sistematika dan penerapannya. Hal itu disebabkan masih banyaknya kekerasan yang terjadi di sekolah ataupun madrasah. Diperlukan keseriusan ekstra dari berbagai pihak, terurama pemerintah, untuk memastikan peran tenaga pendidik dan kependidikan memiliki cara pandang dan kultur yang berwawasan karakter.

“Masih banyak guru yang melarang siswa merokok, tetapi guru merokok di sekolah. Ini salah satu fakta perilaku yang tidak berkarakter,” kata Susanto kepada SH, Jumat (16/10).

Menurutnya, masih banyak hambatan yang perlu diperbaiki pemerintah. Pertama, perspektif guru. Masih banyak tenaga pendidik yang belum bisa membedakan mana wilayah pelanggaran dan mana wilayah pendidikan. Perlakuan kekerasan dianggap wilayah pendidikan, padahal sudah kategori pelanggaran dan hal tersebut adalah dasar yang negatif.

Kedua, komitmen pengambil kebijakan. Kontrol terhadap realisasi pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah masih minim. Umumnya baru dilakukan pengontrolan ketat ketika ada kasus yang mencuat. Penyediaan sarana dan prasarana juga masih terbatas. Perpustakaan yang seharusnya dapat meningkatkan pendidikan karakter justru masih minim buku bacaan terkait pendidikan.

Ketiga, peran orang tua dan kontribusi masyarakat berguna untuk membangun kultur karakter di sekolah, walaupun tetap harus ada penyamaan persepsi.

Susanto mengajak dunia pendidikan untuk menekan angka kekerasan dengan cara memperkuat perspektif sebagai tenaga pendidik dan kependidikan. Perkuat pula komitmen pengambil kebijakan serta kontribusi masyarakat dan budayakan kultur tanpa kekerasan di sekolah.

“Saya yakin jika ketiga hal tersebut berhasil dibenahi, pendidikan Indonesia akan terbebas dari kekerasan,” ucapnya.

Masih hangat di ingatan betapa kejamnya pembunuhan bocah cilik Engeline yang hingga kini masih menyimpan tanya. Kasus kekerasan sesama anak di sekolah kemudian kembali terjadi dengan menewaskan seorang bocah sekolah dasar. Pengamanan anak Indonesia oleh pemerintah patut dipertanyakan.

Susanto menyatakan, banyak hal yang melatarbelakangi mengapa peserta didik menjadi pelaku bullying, di antaranya pengaruh pola asuh. Menurutnya, perilaku anak sering dipengaruhi pola asuh, baik di rumah maupun sekolah.

“Anak yang dididik dari keluarga keras akan berpengaruh pada perkembangan anak. Anak yang dididik dengan cara kekerasan, seperti dipukul, ditendang, dibentak baik langsung maupun tidak langsung juga akan berpengaruh pada kepribadiannya,” ucapnya.

Pengaruh lingkungan sosial dan teman sebaya juga menjadi faktor pembentukan kekerasan pada anak. Pertumbuhan karakter pada anak sering terinspirasi dari potret lingkungan sosial dan rekan sebaya. Lingkungan yang tidak baik akan memberi pengaruh yang tidak baik bagi anak. Apalagi jika anak setiap hari bergaul dengan pengaruh buruk.

Ketiga, pengaruh tontonan dan mainan. Sering kali anak tak terkontrol dan tak dipilihkan tontonan yang tepat buat anak. Contohnya seperti acara gulat asal Amerika Serikat yang ditayangkan tidak pada waktunya sehingga menyebabkan anak-anak dapat menonton dan meniru gerakan gulat tersebut. Tontonan dan mainan bermuatan kekerasan menjadikan anak berpotensi melakukan hal yang sama ketika berinteraksi sosial dengan rekan sekolah dan rekan sepermainan.

Exit mobile version