KPAI: Penguatan Perlindungan Anak Terlantar Butuh Kehadiran Nyata Negara

Foto: Humas KPAI, 2025

Jakarta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan bahwa negara harus hadir secara nyata dalam menjamin perlindungan dan pemenuhan hak anak terlantar.  Penegasan ini disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Evaluasi Implementasi Perlindungan Anak Terlantar: Penguatan Peran Negara, Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah dalam Upaya Pencegahan serta Penanganan” yang digelar di kantor KPAI pada, selasa (14/10/ 2025).

Ketua KPAI Margareth Aliyatul Maimunah menyatakan bahwa implementasi perlindungan anak terlantar masih menghadapi banyak hambatan, meskipun Indonesia telah memiliki regulasi yang komprehensif. “Negara wajib hadir memelihara anak terlantar sebagaimana amanat Pasal 34 UUD 1945. Tapi kehadiran itu harus konkret, bukan hanya administratif,” tegas Margareth.

FGD menghasilkan enam rekomendasi utama untuk memperkuat perlindungan anak terlantar:

  1. Perlindungan sosial yang tepat sasaran bagi keluarga miskin ekstrem agar anak tidak terancam terlantar;
  2. Pemantauan Kualitas Lembaga Pengasuhan melalui sistem asesor dan akreditasi yang lebih ketat
  3. Pengasuhan Alternatif Berbasis Keluarga dan Komunitas dengan memperkuat program foster care (pengasuhan keluarga pengganti) 
  4. Peningkatan Kapasitas SDM dan Profesi Pekerja Sosial (Peksos) dan tenaga layanan sosial di daerah
  5. Perbaikan prosedur adopsi anak untuk menjamin kepentingan terbaik anak, termasuk pengawasan terhadap adopsi antarnegara;
  6. Percepatan ratifikasi Konvensi Den Haag (Hague Convention) sebagaimana dorongan Komite Hak Anak PBB.

Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra menjelaskan, rekomendasi tersebut penting untuk memperkuat sistem perlindungan nasional yang terintegrasi. Ia menekankan perlunya penyusunan peta jalan (roadmap) dan Standar Operasional Prosedur (SOP) nasional yang terintegrasi antar kementerian dan lembaga untuk mencegah dan menangani penelantaran anak. 

Anggota KPAI Kawiyan menyoroti permasalahan mendasar berupa ketiadaan data tunggal anak terlantar di Indonesia. “Kementerian Sosial mencatat sekitar 67 ribu anak terlantar pada tahun 2020, sementara data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan 1,37% dari total anak Indonesia pada 2024 tergolong terlantar. Ketidaksamaan data berdampak pada kebijakan yang tidak tepat sasaran dan minimnya intervensi yang efektif di daerah,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Rehabilitasi Sosial Anak, Mas Kahono Agung Suhartoyo, menyebutkan bahwa sejak diberlakukannya Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang sosial pada 2018, tanggung jawab pelayanan kini banyak berada di pemerintah daerah. Namun, keterbatasan anggaran dan tenaga profesional masih menjadi hambatan utama.“Diperlukan integrasi pusat-daerah dan penguatan pekerja sosial di lapangan agar setiap anak mendapatkan pengasuhan yang layak,” ujarnya.

Dari sisi Save the Children Indonesia, Rendiansyah, menegaskan bahwa penelantaran anak bukan sekedar persoalan ekonomi, “Anak tidak cukup hanya diberi makan dan tempat tinggal. Ia perlu kasih sayang dan bimbingan yang responsif,” kata Rendi. Save the Children juga mendorong pendekatan family-based care serta deinstitusionalisasi, untuk mengembalikan anak dari panti ke keluarga.

FGD ini menutup dengan pesan penting menegaskan bahwa penelantaran merupakan pintu masuk dari berbagai persoalan anak lainnya,  seperti kekerasan, eksploitasi, hingga anak berhadapan dengan hukum. “Melindungi anak berarti menjamin masa depan bangsa. Penelantaran anak bukan sekadar persoalan keluarga, tapi cermin sejauh mana negara benar-benar hadir,” tutup Margareth. (Ed:Kn)

Exit mobile version