Jakarta – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan keprihatinan mendalam atas kasus perkawinan anak yang melibatkan remaja berinisial SMY (15) dan SR (17) di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). KPAI menilai kejadian ini mencerminkan lemahnya regulasi pencegahan, pengawasan, dan pemahaman hukum di lingkungan masyarakat, terutama dalam menghadapi praktik perkawinan anak yang dikemas dalam adat.
Ai Rahmayanti, Anggota KPAI menegaskan bahwa praktik ini jelas bertentangan dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Perkawinan, yang menetapkan batas usia minimal menikah adalah 19 tahun. Ia juga mengingatkan adanya potensi sanksi pidana bagi pihak-pihak yang mendukung dan membiarkan terjadinya perkawinan anak sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPSK) “Praktik perkawinan anak bisa dikenakan pidana bagi pihak yang membiarkan dan mendukung terlaksananya kejadian tersebut,,” tegas Ai Rahmayanti, saat melakukan Case Conference, pada Selasa (27/05/2025).
“Perkawinan anak ini telah merampas hak anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, serta beresiko menimbulkan persoalan sosial dan ekonomi baru di tengah masyarakat, serta meningkatkan potensi terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT),” sambung Ai Rahmayanti.
Dalam kesempatan yang sama, Lalu Junarta Atmaja, Kepala Desa Beraim mengakui bahwa belum ada peraturan desa yang secara tegas mengatur sanksi terhadap praktik perkawinan anak. Tetapi pihak desa telah berupaya untuk memisahkan dan melarang perkawinan tersebut, namun kekhawatiran timbulnya fitnah menjadi alasan pihak keluarga untuk tetap melanjutkan perkawinan.
Mashudi, Ketua Pengadilan Agama Praya juga mengkonfirmasi bahwa perkawinan tersebut tidak ada pengajuan dispensasi kawin, melainkan dilaksanakan berdasarkan perkawinan yang dibingkai dalam adat, tanpa mengikuti prosedur hukum yang berlaku. “Situasi perkawinan anak yang dibingkai dalam adat menjadi tantangan dalam tumbuh kembang anak, sehingga perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat maupun tokoh adat. Bahkan dalam permohonan dispensasi, rata-rata masyarakat tidak mengetahui bahwa perkawinan anak memiliki konsekuensi pidana sesuai UU TPKS,” pungkas Mashudi.
Oleh karena itu, KPAI mendorong untuk adanya ketentuan sanksi di dalam setiap Peraturan Daerah (perda) hingga desa mengenai pencegahan perkawinan anak yang merujuk kepada UU TPKS. Mengingat bahwa NTB telah memiliki perda tersebut, namun belum memuat ketentuan sanksi terhadap pihak-pihak yang memfasilitasi berlangsungnya pernikahan anak.
Ai Rahmayanti memandang bahwa Pemerintah Provinsi NTB dan Kementerian Dalam Negeri perlu meninjau kembali peraturan mengenai pencegahan perkawinan tersebut. Tentunya situasi ini tidak dapat terlepas dari minimnya pemahaman masyarakat mengenai aturan hukum, kuatnya tekanan adat, serta belum adanya regulasi yang melarang hingga pemberian sanksi atas praktik perkawinan anak. “Meskipun perkawinan anak ini telah terjadi, negara harus tetap hadir dalam memastikan pemenuhan hak anak, termasuk dukungan terhadap pemulihan psikologis anak,” kata Ai Rahmayanti.
Menanggapi hal tersebut, Kusriadi, Plt Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kabupaten Lombok Tengah menegaskan bahwa akan terus berkomitmen terhadap penyelenggaraan pemenuhan hak dan perlindungan anak. “Penjangkauan telah dilakukan dan kami akan memastikan anak-anak tetap terpenuhi hak-haknya, termasuk juga telah diupayakan dalam hak pendidikan dan pemeriksaan kesehatan reproduksi dalam hal penundaan kehamilan,” ujar Kusriadi.
Terkait kondisi psikologis yang beredar viral di media sosial, DP3AP2KB telah melakukan pendampingan terhadap kondisi anak. Haryo Widodo, Psikolog DP3AP2KB menjelaskan dalam proses pemeriksaan awal, anak menunjukkan kondisi gangguan kecemasan yang diakibatkan oleh viralnya kejadian tersebut, sehingga diharapkan tetap dilakukan konseling ataupun terapi psikologi untuk menjaga kondisi mental anak. KPAI juga mendorong kementerian/lembaga hingga pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan sinkronisasi program prioritas dalam penguatan fungsi pencegahan perkawinan anak, serta memiliki sistem satu data mengenai jumlah perkawinan, baik yang dimohonkan kepada pengadilan atau perkawinan yang tidak tercatat.
KPAI Tegaskan: Negara Harus Hadir Lindungi Anak
KPAI menggarisbawahi bahwa meski perkawinan telah berlangsung, negara tetap berkewajiban memastikan perlindungan hak anak. KPAI juga mendorong: Revisi Perda No. 5 Tahun 2021 Provinsi NTB agar memuat sanksi hukum dan komitmen anggaran pencegahan perkawinan anak; Kemendagri mengevaluasi penghapusan pasal sanksi dalam perda tersebut; Pemerintah desa menyusun Peraturan Desa (Perdes) yang memuat pencegahan, sanksi sosial, dan layanan pengaduan di tingkat desa; KUA dan Kemenag memperkuat edukasi dan pendampingan melalui penghulu, penyuluh, dan tokoh agama; UPTD PPA melanjutkan pemantauan psikologis dan pemberdayaan keterampilan pasangan anak; Dinas Pendidikan dan sekolah menjamin anak tetap mendapatkan hak belajar tanpa diskriminasi.
Rekomendasi Nasional KPAI: Sinergi, Regulasi, dan Satu Data
KPAI menyerukan sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah dalam pencegahan perkawinan anak, termasuk:
- KemenPPPA segera mendorong lahirnya Perpres Pencegahan Perkawinan Anak.
- Kementerian Agama, MA, Kemendikbud, Kemkes, Kemensos, dan Kemendesa memperkuat program edukasi, pelaporan, dan pendampingan korban.
- Negara membentuk sistem satu data nasional yang mencatat perkawinan anak, baik yang tercatat secara hukum maupun sirri.
Penegakan Hukum dan Sosialisasi Adat
KPAI juga meminta Polres Lombok Tengah memproses secara profesional dugaan pelanggaran hukum yang terjadi, termasuk terhadap pihak-pihak yang memfasilitasi perkawinan tanpa prosedur hukum, serta mendorong keterlibatan tokoh adat dalam sosialisasi UU TPKS dan UU Perlindungan Anak.
“Dalam hal permohonan dispensasi kawin, Kementerian Agama diharapkan dapat lebih selektif, terutama yang mengajukan dengan berlatar belakang adat. Sehingga situasi ini dapat menjadi peringatan bagi semua pihak dan diharapkan pemerintah terus melakukan sosialisasi mengenai perkawinan anak,” tutup Ai Rahmayanti.
Media Kontak Humas KPAI,
Email : humas@kpai.go.id
WA. 0811 1002 7727