KPAI : Pola Asuh, Kunci Cegah Anak Jadi Pelaku Kekerasan

Kekerasan dan tindak pidana yang dilakukan anak-anak di bawah umur semakin marak di Jakarta. Beberapa contoh kasus menggambarkan bagaimana sikap brutal dengan pelaku anak makin menjadi-jadi, mulai dari bullying, pemerkosaan, bahkan pembunuhan berencana.
Contoh kasus pembunuhan misalnya seperti yang dilakukan sekelompok remaja yang masih duduk di bangku Sekolah Menengan Pertama (SMP) di Ciracas, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu. Bermula dari ketegangan di media sosial dan faktor dendam, para remaja itu tega menghabisi dua nyawa remaja lain.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Komisioner Bidang Pengasuhan Rita Pranawati mejelaskan, kekerasan yang dilakukan anak di bawah umur menjadi sebuah gambaran bagaimana pentingnya pola asuh yang benar di dalam lingkungan keluarga.
“Bicara soal faktor sangat banyak yang bisa mempengaruhi anak berperan sebagai pelaku kekerasan, tapi balik lagi ini tidak lepas dari pola asuh serta lingkungan si anak ini,” kata Rita saat dihubungi Kompas.com, Senin (26/2/2018).
Ia menjelaskan, kerap orangtua salah dalam menerapkan pola asuh kepada anak. Orangtua mungkin terlalu pasif dalam memperhatikan pertumbuhan anak, sehingga tidak membangun kedekatan secara emosional.
Orangtua mungkin hanya menuntut anak untuk rajin belajar dan patuh pada aturan tetapi tanpa ada keterlibatan, seperti memberikan contoh atau membantu anak dalam belajar.
“Yang terjadi anak bisa saja rajin, tapi karena tidak dapat ikatan emosinya, di luar dari orangtuanya bisa saja anak bersikap sebaliknya. Kenapa ini terjadi, ya karena tidak terbangun kedekatan secara emosi, entah kerena alasan orangtua yang sibuk kerja dan lainnya,” kata Rita.
Rita menjelaskan, peran mengasuhan anak dari orangtua sangat dibutuhkan. Lemahnya kontrol bisa menjerumuskan anak pada hal-hal yang negatif yang didapat dari beragam media.
Kasus lain yang dikemukakan Rita yaitu tentang aksi bullying terhadap siswi SMP di daerah Thamrin City, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada akhir 2017. Kejadian itu dinilai menjadi fenomena yang miris.
“Mereka ini sadar melakukan prilaku itu karena direkam kan, artinya ada satu kebanggan saat mereka melakukan itu dalam arti negatif. Ini pasti ada unsur pengaruh entah dari mana yang membuat mereka berpikir semakin ekstrem semakin banyak yang menonton,” ucap Rita.
Terkait kasus pembunuhan yang dilakukan keponakan terhadap pamannya di Cipayung, Jakarta Timur, Rita mengatakan ia belum medalami kasus tersebut. Namun bila melihat dari pemberitaan, ada unsur balas dendam yang mendorong remaja tersebut berbuat keji terhadap pamannya.
“Mungkin saja pelaku ini sakit hati, di luar dari tujuannya untuk mengambil harta kita tidak bisa pungkiri ada motif lainnya. Lalu cara dia membunuh kok bisa kejam seperti itu, bisa saja karena menonton film atau memang karena faktor lingkungan,” kata Rita.
“Kata kuncinya ada pola asuh keluarga. Jadi, meski anak itu tidak tinggal langsung dengan orangtuanya, tapi bila mendapat pola asuh yang baik maka itu akan mempengaruhi perkembangannya,” kata Rita.
 
 
Exit mobile version