KPAI : Riset: Kekerasan di Media Picu Anak Jadi Pelaku Kejahatan

Media memiliki peran sentral dalam kehidupan sehari-hari terhadap anak. Baik atau buruk media memiliki efek yang besar pada perilaku anak-anak. Sejumlah penelitian menyebutkan, anak-anak yang menonton video kekerasan yang muncul di televisi, film, video game, telepon seluler, dan internet rentan melakukan tindak kekerasan.

Sejumlah kasus kekerasan yang terjadi pada anak belakangan marak di tanah air. Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI mencatat dalam 7 tahun terakhir angka kasus kekerasan anak mencapai 26.954 kasus. Kasus tertinggi adalah kasus anak yang berhadapan hukum baik sebagai pelaku maupun korban yang mencapai 9.266 kasus.

Kasus terbaru terjadi di Bandung, Jawa Barat. Korban NF (15), siswi SMP kelas VIII SMP di Ciumbuleuit, Jawa Barat, menjadi korban penganiayaan mantan kekasihnya karena dituduh menjadi perusak hubungan RS, kakak kelasnya, dengan kekasih barunya. Pelaku RS yang ditangkap empat jam setelah kejadian, mengaku sakit hati dengan korban.

Korban mengalami luka di bagian lengan kanan dan kirinya menggunakan pisau yang sudah disiapkan dari rumah. Selain itu korban juga dicekik di bagian leher. Dalam kasus tersebut, KPAI mengimbau sekolah dan orang tua harus mampu mengetahui perkembangan anak-anaknya agar tindak pidana di kalangan anak bisa dicegah.

Menurut Komisioner KPAI, salah satu penyebab peristiwa terjadi tidak terlepas dari tontonan yang menjadi latar belakang terjadinya tindakan penganiayaan itu.

“Bisa jadi melihat tontonan yang menjadi tuntutan yang rata-rata memberikan contoh kepada remaja kita, terkait antara realitas hidup yang mereka lalui dengan tayangan yang semuanya serba indah,” kata Komisioner KPAI Jasra Putra kepada Kriminologi, Senin, 19 Februari 2018.

Sebuah situs yang membahas studi psikologi, AllPsych memuat sebuah studi tentang efek psikologis kekerasan media pada anak berjudul The Psychological Effects of Violent Media on Children disebutkan bahwa faktanya kekerasan merupakan salah satu bentuk hiburan yang paling populer.

Anak-anak yang terpapar kekerasan di media lebih cenderung mengalami peningkatan perasaan permusuhan, penurunan respons emosional terhadap penggambaran kekerasan yang menyebabkan perilaku kekerasan melalui proses peniruan. Aksi meniru apa yang mereka lihat di acara televisi mencederai diri mereka sendiri atau orang lain di sekitar mereka.

Selain itu studi di atas, sebuah penelitian tentang dampak kekerasan media elektonik dalam jurnal berjudul The Impact of Electronic Media Violence: Scientific Theory and Research, menyatakan dalam lingkungan sosial yang baru di abad ke-20 dan ke-21, media elektronik memiliki peran yang sentral dalam kehidupan sehari-hari anak. 

Entah itu baik atau buruk, media massa tidak dipungkiri memiliki efek yang besar pada nilai, kepercayaan, dan perilaku anak-anak. Namun, konsekuensi yang sering kali muncul adalah pengaruh yang sangat merugikan bagi kesejahteraan anak-anak. 

Rowell Huesmann dalam jurnalnya ini juga menyatakan bahwa sejak awal tahun 1960-an, bukti-bukti penelitian telah menunjukkan bahwa keterpaparan terhadap kekerasan di televisi, film, video game, telepon seluler, dan internet meningkatkan risiko perilaku kekerasan bagi para penggunanya.

Bahkan, ia mengatakan bahwa efek yang timbul dari paparan kekerasan di media sama seperti anak yang tumbuh di lingkungan nyata yang penuh dengan kekerasan sehingga meningkatkan risiko mereka untuk berperilaku kasar.

Lebih jauh lagi, Evergreen Psychotherapy Center memaparkan empat efek bahaya utama dari paparan kekerasan di televisi, film dan video game terhadap anak. How violence in media affects children’s behavior menjelaskan efek-efek bahaya tersebut antara lain:

1. Sikap Agresif

Penelitian yang dilakukan psikolog Albert Bandura mengenai paparan kekerasan di media dengan sikap agresif anak menunjukkan bahwa anak belajar melalui proses modeling atau meniru tindakan-tindakan orang lain, khususnya orang dewasa. Anak yang menonton tayangan orang dewasa bersikap agresif lebih mungkin untuk bersikap agresif pula dengan anak lainnya saat mereka sedang bermain.

Penelitian juga telah menemukan keterkaitan antara paparan kekerasan di media saat masa kanak-kanak dan serangkaian masalah di masa dewasa. Misalnya, orang yang sejak kecil sudah terpapar tayangan kekerasan di televisi secara intens dua kali lebih mungkin untuk menyiksa pasangan mereka secara fisik, dibandingkan dengan mereka yang kurang terpapar.

2. Berkurang Kadar Sensitifitas

Anak yang menyaksikan banyak kekerasan di media bisa menjadi tidak peka. Maksudnya mereka menjadi kurang terkejut dengan adanya kekerasan, kurang peka terhadap rasa sakit dan penderitaan orang lain, dan juga kecil kemungkinannya untuk menunjukkan empati pada korban kekerasan.

3. Rasa Takut

Rasa takut merupakan hasil lainnya yang ditimbulkan dari kekerasan di media. Anak bisa menjadi cemas yang berlebihan bahkan trauma akibat kekerasan yang mereka lihat di televisi dan film. 

4. Pesan Negatif

Kekerasan di media memberikan anak-anak pesan bahwa sikap agresif dan kekerasan merupakan solusi yang dapat diterima dalam menyelesaikan konflik dan masalah. Di banyak rumah tangga, anak-anak mengenali karakter televisi, film, dan video game, lalu melihat mereka sebagai pahlawan, panutan dan tokoh orang tua.

Pesan yang disampaikan dari paparan kekerasan di media adalah bahwa kekerasan itu tidak menyakitkan dan juga adalah alat pemecah masalah yang diinginkan. 

Dengan mengetahui bahayanya paparan kekerasan di media terhadap tumbuh kembang anak, peran keluarga dalam mengontrol konsumsi media pada anak sangat penting. Terlebih dengan semakin majunya teknologi dewasa ini konten-konten kekerasan di media, khususnya internet, menjadi semakin mudah terakses oleh anak.

Orang tua sebagai garda terdepan pada tumbuh kembang anak harus memantau dan lebih memperhatikan anak-anaknya, serta memberikan edukasi penggunaan media yang positif pada anak.

Exit mobile version