KPAI: Sistem Zonasi Terbaik bagi Anak

JAKARTA, (PR).- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai membangun pendidikan berbasis zonasi merupakan yang terbaik bagi masa depan anak. Kendati demikian, pemerintah harus terus memperbaiki pelaksanaannya agar tindak kecurangan tidak terus berulang.

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti menyatakan, tujuan dari sistem zonasi adalah untuk memberi layanan akses yang berkeadilan bagi masyarakat. Melalui pemerataan mutu pada semua satuan pendidikan dan partisipasi masyarakat. 

“Namun pemerintah tidak boleh hanya berhenti pada zonasi siswa, namun harus disertai zonasi pendidikan, termasuk zonasi guru. Untuk pemerataan pendidikan yang berkualitas, pemerintah harus memetakan pemerataan guru, pemerataan infrastruktur dan integrasi pendidikan formal dan nonformal,” kata Retno dalam diskusi Fungsi Zonasi bagi Anak di Kantor KPAI, Jakarta, Kamis, 5 September 2019.

Ia menjelaskan, kebijakan zona sejalan dengan kepentingan terbaik anak. Pasalnya, sistem zonasi mendekatkan jarak rumah ke sekolah. Hal tersebut memberikan manfaat bagi tumbuh kembang anak. 

Di antaranya, anak menjadi sehat karena setiap hari ke sekolah cukup jalan kaki atau naik sepeda. Menurut dia, selama ini banyak anak usia SMP dan SMA/SMK sudah diberikan sepeda motor untuk ke sekolah meskipun belum memiliki SIM. Pertimbangan jarak yang jauh menjadi alasan bagi orang tua untuk membelikan anaknya motor atau mobil.

“Angka tawuran pelajar juga bisa diturunkan. Karena selama ini tawuran kerap dipicu oleh perjumpaan anak-anak berbeda sekolah di perjalanan dan di kendaraan umum menuju dan pulang sekolah,” katanya.

Ia sepakat bahwa ke depan penerapan sistem zonasi secara perlahan akan menghilangkan label sekolah unggulan dan nonunggulan. Dengan demikian, kualitas semua sekolah negeri diharapkan menjadi setara. 

Sistem zonasi juga dapat mendorong setiap anak mengoptimalkan diri sesuai dengan potensi dan kecerdasan yang dimilikinya. Ia menilai, selama ini, sekolah-sekolah hanya menghargai kecerdasan akademik. “Padahal, tidak ada anak yang bodoh. Setiap anak memiliki kepintarannya masing-masing,” ujarnya. 

Dalam diskusi tersebut, KPAI merilis ada 95 aduan yang diterima posko pengaduan KPAI yang berasal dari 10 provinsi dan 33 kabupaten/kota selama PPDB zonasi 2019. Aduan tersebut didominasi dugaan kecurangan, penolakan siswa oleh sekolah dan domisili bermasalah.

“Sekitar 10% dari total aduan menolak sistem zonasi. Mayoritas pengadu mendukung sistem zonasi dengan berbagai catatan. Mayoritas pengadu menyayangkan penerapan 90% zonasi murni dalam Permendikbud No. 51/2019 sementara jumlah sekolah negeri belum merata penyebarannya dan masih minim jumlahnya terutama di jenjang SMP dan SMA,” kata Retno.

Ia mendorong Kemendikbud untuk melakukan perbaikan yang menyeluruh dalam penerasan sistem zonasi tahun depan. Mulai dari menyiapkan sekolah baru, distribusi guru yang merata dan evaluasi komposisi jalur penerimaannya.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengklaim, berdasarkan hasil evaluasi, penerapan penerimaan pesera didik baru berbasis zonasi berjalan dengan baik atau sesuai target. Zonasi mampu menciptakan sekolah yang tak homogen. Setiap sekolah kini diisi oleh peserta didik dengan latar belakang nilai akademik dan ekonomi yang beragam dan sebarannya merata.

Mendikbud Muhadjir Effendy mengatakan, dengan latar belakang siswa yang heterogen secara akademik, ke depan, tidak akan ada lagi sekolah yang mendapat predikat unggulan dan nonunggulan. Semua sekolah akan mampu mengembangkan potensi peserta didiknya masing-masing untuk meraih prestasi. Kebijakan zonasi ini akan terus diterapkan pada PPDB tahun depan dan program redistribusi guru.

“Sekarang merata. Setiap sekolah itu diisi peserta didik yang sangat bagus nilai akademiknya dan sangat rendah juga ada. Ini yang namanya sekolah klasikal. Untuk rotasi dan redistribusi guru, kami masih menunggu Perpres diterbitkan. Rencananya diterapkan tahun ini juga,” kata Muhadjir.

Exit mobile version