KPAI Soal Geng Pelajar: Penanganan Harus Dalam Konteks Pendidikan

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai permasalahan geng pelajar di SMA harus diselesaikan dengan prinsip perlindungan anak. Penanganannya pun dilakukan dalam konteks pendidikan.

“Seandainya ada tindak kekerasan, penyelesaiannya juga dengan memperhatikan prinsip perlindungan anak. Jadi tidak ada peluang sekecil apapun untuk mentolerir kekerasan, penanganan harus dalam konteks pendidikan,” kata Ketua KPAI Asrorun Niam kepada detikcom, Sabtu (22/11/2014).

Niam juga mengingatkan agar pendidik, tenaga kependidikan dan pemerintah di bidang pendidikan turut bertanggungjawab menciptakan lingkungn bebas kekerasan. Salah satunya dengan memastikan tidak ada benih-benih kekerasan di dalam lingkungan si anak.

“Geng-geng itu yang diartikan benih tindak kekerasan dan ditangani harus secara preventif. UU Perlindungan Anak juga menyebutkan kewajiban anak, salah satunya menghormati orangtua,” kata Niam.

UU Perlindungan Anak menjadi momok bagi para guru ketika hendak memberikan sanksi kepada siswa yang menyalahi aturan, salah satunya melakukan tindak kekerasan. Menurut Niam, UU tersebut bertujuan untuk memastikan hak-hak anak terpenuhi, bukan menjerat para guru.

“UU Perlindungan anak itu bertujuan untuk memberi perlindungan anak dalam kerangka pemenuhan hak dasar, terhindar dari diskriminasi dan eksploitasi. Artinya, di situ ada hak anak memperoleh pendidikan secara baik,” ujar Niam.

Niam tidak setuju jika guru memberikan sanksi berupa hukuman fisik. “KPAI mendorong lingkungan yang bebas kekerasan, kekerasan atas nama apapun tetap tidak dibenarkan, apalagi di sekolah. Seluruh pihak harus memastikan lingkungan bebas dari kekerasan,” ucap Niam.

Sementara terkait berkumpulnya siswa di luar lingkungan sekolah, menurut Niam, harus dipastikan lebih dulu kegiatan mereka. Jika kegiatan itu bersifat positif untuk menyalurkan kreatifitas yang membangun, maka mereka tak dapat disebut sebagai gangster.

“Salah satu penyebab terjadinya potensi kekerasan itu karena aktualisasi anak didik itu belum optimal terfasilitasi. Misalnya ruang publik yang semakin berkurang, area ekstra kulikuler yang edukatif juga, lalu visi Pemda di pendidikan. Sehingga energi anak tak tersalurkan secara positif,” kata Niam.

“Adanya bullying dan kongkow bermuara tindakan destruktif sering kali dipicu energi berlebih itu tidak tersalurkan secara positif. Itulah yang harus kita tangani,” tambahnya.

Exit mobile version