KPAI Soroti Kasus Incest dan Pembuangan Bayi di Pasaman

Komisioner KPAI Jasra Putra (kiri)

PASAMAN – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyesalkan terjadinya skandal incest dan pembunuhan bayi di Kabupaten Pasaman. Kasus ini terkuak ke publik setelah pelaku, SHF (18), ditangkap polisi, Senin (17/2), di Rao Selatan. 

Berdasarkan penyelidikan, SHF yang merupakan seorang santriwati di salah satu pondok pesantren (ponpes) di daerah itu adalah pelaku pembuang bayi nahas itu ke sungai di dekat rumahnya di Kampung Kalawi, Jorong IV Beringin, Nagari Lansekkadok, Kecamatan Rao Selatan. 

Bayi malang itu ditemukan tewas mengambang oleh salah seorang warga, Minggu (16/2) sore, ketika hendak memberi pakan ikan di kolamnya. Hasil penyelidikan, ternyata bayi yang dibuang itu hasil hubungan terlarang pelaku dengan adik kandungnya, IK (13), pelajar SMP. 

Menurut, Komisioner KPAI Divisi Monitoring dan Evaluasi (Monev), Jasra Putra, kisah kakak dan adik kandung yang berhadapan dengan hukum di Pasaman, tentu menjadi kecaman yang tiada henti. Entah kalimat kasar apa, yang bisa mewakili kekesalan masyarakat saat ini akibat perbuatan mereka.

“Perbuatan yang dibuat kakak dan adik sampai meninggalnya seorang bayi menambah reaksi dan ekskalasi emosi yang tidak terbendung. Potensi kegagapan, ketidaktahuan  bagaimana bersikap, akan membahayakan dan bisa menambah persoalan,” ungkap Jasra Putra saat dihubungi harianhaluan.com, Selasa (18/2).

Ia mengatakan, penting sekali keluarga tersebut untuk dipotret secara keseluruhan, kenapa itu terjadi. Apa yang terjadi di keluarga tersebut. Bagaimana orang tua menjalankan pengasuhan anak, bagaimana kondisi di rumah, dan bagaimana lingkungan di luar rumah.

Penyelesaian dengan cara fokus tersebut, agar dapat menemukan penyebabnya dan apa yang harus dilakukan untuk keluarga yang memiliki potret kehidupan yang sama, agar dapat dideteksi dini dan dicegah tidak terulang.

“Saya masih ingat mendampingi seorang anak perempuan 12 tahun dari keluarga pemulung, yang terinfeksi mahkotanya hingga meninggal, di mana pelakunya adalah ayah kandungnya,” tukas Jasra mengingatkan. 

Berbagai faktor menjadi penyebab, dibeberkan Jasra. Pertama, kata dia, peristiwa tersebut berlangsung lama tanpa diketahui, ruangan rumah tanpa sekat, setiap peristiwa korban sendirian karena semua anggota keluarga bekerja.

Selain itu, lingkungan padat dan tempat mengadu nasib kelompok rentan yang sifatnya sementara dan selalu berganti-ganti penghuninya, fungsi administrasi pemerintah yang hanya bersifat pencatatan penghuni yang keluar masuk. Lalu bagaimana dengan potret keluarga ini.  

Pemerintah setempat, kata dia, bersama aparat jorong dan nagari punya kewajiban menghidupkan deteksi dini kepada keluarga keluarga rentan dan merujuknya kepada lembaga-lembaga yang bisa memberi pengetahuan kepada keluarga tersebut. Ini penting untuk mencegah kejadian serupa terulang.
 
“Selama tidak ada pengawasan atau tidak ada yang mengambil peran dan bertanggung jawab untuk keluarga yang berpotensi rentan seperti ini, maka pengulangan peristiwa di luar nalar bisa terjadi kembali, bahkan bisa lebih, tidak siap kita menghadapinya,” tukas putra Maligi, Pasbar ini. 

Jasra menyebutkan, bahwa pola keluarga dalam menjaga anak saat ini telah berubah dan perlu didukung keluarga, tetangga dan jorong serta pemerintahan nagari setempat.

“Tidak ada orang tua yang jahat, yang ada adalah orang tua yang tidak paham dan semakin jauh dari tanggung jawabnya,” ujarnya.

Kedekatan, kasih sayang, kakak dan adik adalah sesuatu yang alamiah (natural). Tapi hal ini bisa mengalami disorientasi, karena adanya proses yang panjang. Tidak terjadi begitu saja. 

“Untuk itu, kejadian serupa sangat bisa dicegah, bila fungsi fungsi kemasyarakatan tumbuh dan sadar untuk perhatian khusus kepada potret keluarga seperti ini,” katanya. (*)

 

Sumber: https://www.harianhaluan.com

Exit mobile version