KPAI Soroti Maraknya Kasus Kekerasan Anak di Awal Tahun 2018

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyesalkan maraknya kasus kekerasan anak yang terjadi selama dua pekan di tahun 2018. Parahnya, kasus-kasus kekerasan tersebut mayoritas terjadi di ranah-ranah privat atau di dalam rumahnya sendiri. Karena itu lembaga tersebut mengingatkan perlunya kesadaran dan komitmen bersama untuk melindungi anak dari ancaman kekerasan.

Berdasarkan data monitoring KPAI yang diberikan kepada Validnews, di tahun 2018 yang belum genap satu bulan ini ditemukan sejumlah kekerasan terhadap anak di dalam rumahnya sendiri. Sebelumnya seorang anak diduga selama setahun disekap orang tua di Malang Jawa Timur. Kemudian dilaporkan adanya seorang anak di Kalimantan Timur meninggal yang diduga mengalami kekerasan fisik oleh ayah tirinya.

Kemudian baru-baru ini seorang anak usia dua tahun di Tasikmalaya juga meninggal diduga mengalami kekerasan yang dilakukan oleh tantenya. Laporan terbaru yang diterima KPAI yakni adanya dugaan kekerasan yang dilakukan oleh seorang ibu kepada anaknya di kota Bogor.

Wakil Ketua KPAI, Rita Pranawati mengatakan, berdasarkan sejumlah peristiwa tersebut maka pihaknya ingin mengingatkan kembali bahwa anak adalah amanah Tuhan yang perlu diperlakukan sebaik-baiknya. Ia menegaskan, anak bukanlah aset atau barang yang bisa diperlakukan apa saja. Karena itu setiap anak perlu dilindungi harkat martabatnya sebagai manusia.

Dia berpendapat, perlindungan anak sangat tergantung pada orangtua dan orang dewasa yang mengasuhnya.  Oleh karenanya, orangtua harus menyadari bahwa setiap anak yang diasuh wajib diperlakukan sebaik-baiknya sesuai dengan tumbuh kembangnya.

“Dalam keadaan apapun kondisi dan situasi orang tua, mereka tetap memiliki kewajiban mengasuh,” ucap Rita kepada Validnews, Senin (15/1) pagi.

Dia melanjutkan, melihat banyaknya fenomena kekerasan anak di tahun 2018 ini sudah semestinya masyarakat dapat mengidentifikasi keluarga-keluarga rentan di sekitarnya, agar kejadian-kejadian kekerasan terhadap anak dapat dihindari. Menurutnya keengganan mencampuri urusan privat sebuah keluarga dalam kasus kekerasan terhadap anak perlu disingkirkan demi kepentingan terbaik bagi anak.

“Tentu dengan mengutamakan kemaslahatan bagi kepentingan terbaik bagi anak. Masyarakat dapat melaporkan kepada pihak yang berwenang seperti kepolisian, Babinkamtibmas di wilayahnya, P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak), KPAI, pekerja sosial dan lainnya agar kasus-kasus tersebut dapat ditangani dengan baik,” papar Rita.

Dia menjelaskan, keluarga-keluarga yang berpotensi rentan untuk melakukan kekerasan yang ada di masyarakat di antaranya adalah keluarga yang berpisah, memiliki keluarga baru, memiliki anak di luar perkawinan dan keluarga yang mengalami tekanan ekonomi dan sosial.

Ia berpendapat, ketika keluarga berpisah maka harus dipastikan pengasuhan ada pada orang yang tepat. Dia mencontohkan, pengalihan pengasuhan pada kasus di Tasikmalaya ternyata tidak sesuai dengan harapan. Perceraian dan perkawinan pasca perceraian harus membahas urusan anak dan adaptasi anak dalam satu paket berkeluarga.

Hal ini harus dilakukan, dan jika tidak maka anak rentan mengalami kekerasan dari orang tua baru. Sering kali problema-problema yang dihadapi orang tua dilampiaskan kepada anak. Oleh karenanya, masyarakat perlu memperhatikan kondisi sosial dan kesehatan mental para orang tua disekitarnya sehingga dapat melakukan upaya preventif jika ada tanda-tanda kekerasan disekitarnya.

Selain itu menurutnya pemerintah harus terus menerus mengupayakan peningkatan kecakapan pengasuhan bagi seluruh orangtua dan orang  dewasa yang bertindak sebagai pengasuh. Selain itu, biro-biro konsultasi bagi masyarakat yang membutuhkan perlu dibuka pintu selebar-lebarnya sehingga kesehatan mental orangtua tetap terjaga.

“Akhirnya, KPAI mengimbau semua pihak bergandeng tangan untuk terus melindungi anak Indonesia,” tegas Rita.

Exit mobile version